Wednesday, October 21, 2015

Kekinian dan Masa Depan dalam praktek Arsitektur oleh Budi Pradono,

Kekinian dan Masa Depan dalam praktek Arsitektur[1]
disampaikan dalam seminar Forsight, di UAJY, 19 Mei 2015
Budi Pradono[2]


Latar Belakang

Dalam kesempatan seminar ini yang diselenggarakan oleh Jurusan arsitektur Universitas Atma jaya Yogjakarta, saya diberi tema yang cukup sulit untuk diterjemahkan, temanya “forshight” dalam tema itu mengacu pada pandangan pandangan arsitek pada masa depan, dimana pandangan tersebut harus mengacu pada masa lalu dan masa kini.
Menjadi praktisi arsitek adalah sebuah pilihan. Menurut survey yang dilakukan baik itu di kampus-kampus terkemuka di seluruh dunia, maupun sekolah arsitektur yang ada rata-rata hanya dua persen saja dalam satu angkatan yang benar-benar menjadi arsitek atau arsitekpreneur, yang membuka kantor arsitek sendiri maupun bersama-sama dengan koleganya. Sisanya menjadi banker, pengusaha yang masih berhubungan dengan dunia arsitektur misalnya membuka kantor developer, menjadi kontraktor, menjadi animator, maupun menjadi supplier bahan bangunan. Patut diakui profesi arsitek merupakan profesi yang unik, keren tetapi melelahkan, kita harus mencurahkan segala energy dan pikiran kita pada pekerjaan ini, baik dilakukan secara normal seperti orang kantoran kebanyakan atau super serius yang mengharuskan kita lembur demi mencapai deadline waktu. Sejak kita kuliah adalah saat dimana seleksi alam itu dimulai. Setiap mahasiswa dituntut untuk memiliki passion yang kuat, semangat yang membara dan juga cinta… sehingga berhari-hari lembur pun dilakukan dengan gembira. Kembali kepada ema yang ditawarkan jadi kalau saya harus merunut masa lalu masa kini dan masa depan tentu saja ini menjadi autobiografi yang menarik, menjadi referensi bagi para mahasiswa.



Pemahaman Sejarah

Penting sekali bagi setiap lulusan arsitektur mempelajari sejarah, mata kuliah ini yang diberikan hanya 2 sks nyatanya sangat berguna, sebagai alat untuk mendefinisikan dirinya sendiri ketika akan lulus. Kita bias melihat bahwa semua arsitek besar masa kini merupakan arsitek yang berhasil menemukan keunikan / keunggulannya dari yang lain. Keunggulan itu diperoleh karena pemahaman sejarah, karena latihan ( Zaha hadid perlu 20 tahun untuk kalah dalam mengikuti berbagai kompetisi didunia, tetapi tetap konsisten dengan metode nya dengan strategi perancangannya baginya kompetisi adalah exersize yang tiada henti. Dari studio nya yang kecil di London, sekarang dia memiliki 400 karyawan yang mengerjakan rancangan bangunan di seluruh dunia.) yang kedua adalah banyak melihat, kita yang tinggal di Indonesia bias iri karena terlalu sedikit contoh rancangan bangunan internasional dengan kualitas A ada di Indonesia. Hal ini dimaklumi karena ilmu arsitektur masih terlalu baru untuk ukuran Indonesia, seperti kita ketahui lulusan arsitek pertama dari ITB Indonesia, adalah pada tahun 1958. Dalam rentang waktu itu hingga kini para arsitek Indonesia belum mendapatkan tempatnya karena situasi politik dan pemerintahan yang memandang itu hanya sebelah mata. Masa keemasan arsitek Indonesia adalah masa jaman presiden pertama RI, karena di saat awal kemerdekaan itu Soekarno ingin membangun Jakarta agar setara dengan kota –kota metropolitan di duina. Tetapi setelah era Soekarno yang menyelenggarakan banyak kompetisi bangunan public, selama 30 tahun kita dikendalikan oleh penguasa yang otoriter
 yang kurang paham pada tatanan arsitektur. Tentu saja selama itu pula arsitektur yang dianut adalah arsitektur barat kapitalistik. Itu adalah masa-masa dimana terjadi boom minyak bumi dan sepanjang jalan sudirman Thamrin dibanjiri bangunan box kaca yang generic, inilah hadirnya international style.  

Saat saya menyelesaikan study arsitektur tahun 1995 dan kemudian menimba ilm dengan bekerja di berbagai Negara selama kurang lebih 10 tahun.  Saya merasakan hadirnya orde reformasi setelah orde sebelumnya tumbang. Pada masa itu hingga sekarang kita mendapatkan gempuran informasi yang begitu cepat, massif dan bombastis, gempuran gempuran itu sebenarnya bagian dari globalisasi dan penyetaraan persepsi. Sosial media tumbuh pesat yang menyebabkan menipisnya batas geografis seseorang. Sosial media yang tumbuh subur menjadikannya mediator bagi pertukaran gambar/ image ke seluruh dunia. Pertukaran ini menyebabkan arsitektur telah direduksi menjadi komoditas yang hanya dilihat dari image / tampaknya saja, tetapi pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bangunan itu terbangun menjadi sangat kurang, konsep dalam berarsitektur telah direduksi hanya sebagai kulit luar tanpa arti.


Arsitektur Moderen

Tonggak sejarah arsitektur modern dicanangkan oleh Le Corbusier (1887-1965) pada tahun 1931, ketika dia dengan semangat membara meluncurkan sebuah buku klasik berjudul “Towards A New Architecture”  : salah satu argument dari Corbu adalah tentang arsitektur atau revolusi: The history of Architecture unfolds itself slowly across the centuries as a modification of structure and ornament, but in the last fifty years steel and concrete have brought new conquest, which are the index of greater capacity for construction, of an architecture in which the old codes have been overturned. If we challenge the past, we shall learn that “styles” no longer exist for us, that style belonging to our period has come about; and there has been Revolution.[3]
Corbu juga mengingatkan bahwa Architecture has nothing to do with the “styles” argument ini tetap relevan hingga saat ini.

Tonggak berikutnya adalah buku karya Rem Koolhaas “Delirious New York: Retroactive Manifesto for Manhattan (1978)  sebuah buku wajib bagi arsitek maupun mahasiswa arsitektur di seluruh dunia dalam buku ini Rem Koolhaas menyatakan  "The City is an addictive machine from which there is no escape"
 aspek kunci dari arsitektur yang Koolhaas perkenalkan adalah"Program": dengan munculnya modernisme di abad ke-20 "Program" menjadi tema utama dari desain arsitektur. Gagasan Program melibatkan "tindakan untuk mengedit fungsi dan aktivitas manusia" sebagai dalih desain arsitektur: dicontohkan dalam Form follow Function, pertama kali dipopulerkan oleh arsitek Louis Sullivan pada awal abad ke-20. Gagasan ini pertama kali dipertanyakan di Delirious New York, dalam analisisnya arsitektur bertingkat tinggi di Manhattan. Sebuah metode desain awal yang berasal dari pemikiran tersebut adalah "cross-pemrograman", memperkenalkan fungsi tak terduga dalam program ruang, seperti menyediakan trek lari di gedung pencakar langit.[4]

Tonggak berikutnya adalah buku Rem Koolhaas :S,M,L,XL setebal 1376 halaman
Buku yang diterbitkan tahun 1995 menggabungkan esai, manifesto, buku harian, fiksi, perjalanan, dan meditasi di kota kontemporer. Hampir sepuluh tahun Karya karya Rem Koolhaas di OMA yang gagal terealisir ditampilkan dalam buku ini sebuah implementasi dari hasil riset buku yang pertama, merupakan interpretasi dalam Manhatannisme, banyak istilah yang kemudian menjadi umum dalam istilah arsitektur seperti Biggness dan urbanisme.


Arsitektur dalam praktek pada firma BPA

Pada praktek arsitektur yang saya jalankan dan dalam mengantisipasi kemajuan dalam informasi teknologi dan dalam mengantisipasi perubahan cara bertinggal, urbanitas yang baru sehingga disadari perlu adanya firma rsitektur dengan kerangka riset yang kuat. Budi Pradono Architects (BPA) berdiri tahun 2005, didefinisikan sebagai firma arsitektur yang berbasis riset.[5] Hal ini memberikan output yang luas baik di bidang perancangan urban, bangunan privat, maupun bangunan kebudayaan dan komersial. Sebenarnya basis penelitian ini memberikan kesempatan yang luas agar BPA dapat selalu berinovasi dengan begitu karya-karyanya merupakan sesuatu yang benar-benar baru sehingga ke depannya dapat menggoreskan sejarah arsitektur di Indonesia. Dari sisi perancangan juga diharapkan dapat menjadi global karena mereduksi batas geografis suatu Negara, diharapkan ke depan dapat menjadi bagian dunia yang lebih luas. BPA karena berfokus pada perubahan lifestyle masyarakat kontemporer. tentu saja bersentuhan dengan kehidupan masyarakat dunia terkini, hal inilah yang menyebabkan analysis-analysis pada perubahan masyarakat ini yang akan menentukan rancangan sehingga rancangan-rancangannya menjadi sangat spesifik. Dalam presentasi kali ini saya akan menjelaskan metode dan sekaligus rancangan-rancangan terkini, yang terdiri dari beberapa studi kasus; proyek arsitektur ini semuanya memiliki beberapa pendekatan yang berbeda-beda, namun juga memiliki garis merah yang sejalan antara lain adalah pendekatan programming dan diagraming yang dapat diimplementasikan pada setiap study kasus. Perbedaan mendasar dari setiap proyek adalah karakteristik lokalitasnya atau konteks. Dengan begitu ramuan arsitekturnya adalah perkawinan antara programming dan konteks tempatnya atau the spirit of place nya.



[1] Disampaikan dalam Seminar arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogjakarta, 19 Mei 2015
[2] Budi Pradono (1971), anggota IAI professional, principal architect pada Budi Pradono Architects [BPA], firma arsitektur berbasis riset, direktur JADUL (Jakarta Digital Urban Lab), saat ini ditunjuk sebagai curator untuk pameran Austellung 70’s bad di Sciltach, Jerman 2014-2015, ditunjuk sebagai advisor pada pengembangan industry creative bidang desain dan arsitektur antara Indonesia dan UK 2014-2015,
[3] Le Corbusier, Towards A New Architecture, 1986, hal 7,
[4] Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan, New York, Monacelli Press, 1994; Rem Koolhaas, et al, originally published by Oxford University Press 1978, New York: Monacelli Press 1995), dalam buku tersebut Rem Koolhaas dengan rinci menceritakan bagaimana program yang terus berubah secara dinamik mengisi tower-tower di dalam grid yang tidak berubah

[5] BPA adalah singkatan dari Budi Pradono Architects, PT: Firma arsitektur berbasis riset yang didirikan pada tahun 2005. Sejak tahun 2005 berturut-turut mendapatkan penghargaan Emerging architecture award-UK, Cityscape Awards, Dubai, Silver Interach medal dan honorary diploma , Bulgaria (2007& 2009), WAF, World Architecture Festival, Barcelona (2008), World architecture Community, Barcelona (2009), dan IAI awards (2011& 2012), Karyanya juga terpilih dipamerkan pada Venice Architecture Biennale, Italy (2014), Jakarta Contemporary Ceramic (2014), dan Bamboo Biennale (2014)

No comments:

Post a Comment