Thursday, May 7, 2015

Architecture for Dog by Kenya Hara book review



























Santai Cube

Furnitur Rotan Santai Cube
Dengan karakter yang lentur dan kuat, rotan bisa menciptakan kemungkinan baru mendekonstruksi eksistensi furnitur tradisional yang tak hanya fungsional, namun juga membuat dinding, atap, obyek-obyek khusus, sekaligus ruang-ruang imaji anyar.
Pameran IFEX 2015 (Indonesia International Furnitur Expo) 2015 Maret lalu di Pekan Raya Kemayoran Jakarta adalah sebuah proyek eksperimentasi saya pada medium ekspresi berbahan rotan. Seperti kita tahu bahwa Indonesia melimpah dengan material ini.
Saya tertantang sebagai arsitek dan perupa membawa paras dan kekuatan rotan menjadi segugus instalasi seni, yang uniknya bisa untuk duduk & menyandarkan tangan. Bahkan, menciptakan suasana tubuh dan pikiran menjadi rileks setelah menikmati pameran stand-stand lain dari berbagai negara. Karena itu saya namakan Santai Cube, sebuah ruang persegi empat untuk tempat rileks.
Dalam pendekatan seni,  saya ingin menciptakan sensasi pada mata dan indera raba serta imaji-imaji khusus tentang ruangan.  Instalasi seni ini mengubah pandangan fungsional desain furnitur berukuran kecil sebatas meja dan sofa dan bisa jadi untuk tempat penerangan kap lampu, bahkan kemudian saya rombak total menjadi satu kesatuan sekaligus. Sambung menyambung membentuk imaji ruang gigantik tersendiri yang cukup luas, sekitar 8x 8 meter dengan ketinggian kira-kira 5,5 meter. 
Furnitur bagi saya bisa membentuk dinding dan atap yang transparan, jeruji-jeruji rotan telanjang terlihat tanpa ada finishing polish—yang sengaja saya lakukan dengan maksud elemen rotan alamiah hadir sebagai simbol kewajaran, selanjutnya saya beri sentuhan warna hijau dan oranye teduh. Saya berharap pengunjung stand Aida Rattan menemukan “oasis” untuk bersantai dalam belantara pameran IFEX 2015.
Saya berkolaborasi dengan Aida Rattan, produsen furnitur rotan dengan intensi menyesuaikan konteksnya dengan event ekspo dengan ciri bahwa stand Aida harus berbeda. Terutama memberikan nuansa cair, transparan dan ekstrovert. Sejak awal memang saya tidak menyukai furnitur yang membentuk obyek yang cenderung  terfragmentasi dan statis. Seharusnya, furnitur membebaskan, menciptakan ruang besar baru dan merangsang kesegaran-kesegaran paras materi rotan. Ini juga terkait erat dengan latar belakang saya sebagai arsitek, yang selalu ingin membentuk ruang-ruang hunian didalam obyek bangunan arsitektural.
Selain itu, obyek furnitur semestinya membentuk visualisasi yang plastis bahkan mungkin bisa “berdansa” dan mengajak pengunjung merasakan sensasi-sensasi ruangnya yang terhubung dengan fungsinya yang tradisonal, tetap menjadi obyek furnitur seperti  sofa dan lain-lain untuk duduk.
Furnitur pada kahirnya tidak hanya menarik dalam segi bentuk dan materi lokalitas, namun bisa menggugah cara pandang baru dalam mendekonstruksi tradisi desain rotan gaya lama. Dari perspektif itu, saya menantang produsen Aida Rattan yang telah 10 tahun mendedikasikan dirinya untuk mengeksplorasi kemampuan materi rotan Indonesia sebagai partner kerja. Saya mengeksplorasi sedemikian rupa materi rotan yang ditawarkan untuk eksperimentasi dengan menekuk, melipatnya, membiarkannya lurus dan membujur kemudian tiba-tiba saya berikan elemen seperti lengkungan tajam serta meliuk. Dari sana kita bisa dengan baik membandingkan kekuatan rotan yang sejatinya luwes mampu dieksplorasi dengan cara apapun, dibanding kayu yang cenderung tak terlalu kuat dan “rapuh” untuk format yang ekstrem.
Merespon pameran IFEX 2015, saya melihat sebuah tempat dengan misi trading dengan memperkenalkan produk dan item-item baru, yang biasanya bermuara pada penjualan. Saya berpikir untuk melakukan sebaliknya, tak hendak alergi dalam pengertian anti “menjual”, alih-alih saya mencobanya dengan membuat furnitur dengan konsepsi yang lain. Maka, yang dijual adalah konsepsi tersebut. Saya sangat tertarik bagaimana sebuah produk furnitur cenderung bersandar pada nilai-nilai konsepsinya; yang hendak disampaikan message nya, seperti artwork, sebuah karya seni.
Pada sisi lain, saya ikut prihatin dengan kondisi dunia desain Indonesia, bahwa sudah saatnya para desainer dan pemerintah bersinergi lebih kuat lagi, dengan mengambil fakta bahwa secara nasional ekspor kita senilai 1, 2 dolar masih tertinggal jauh dibanding negara dengan penduduk seperempat kali dari Indonesia, yakni Vietnam yang telah membukukan ekspornya di pasar rotan dunia dan menguasainya dengan nilai mencapai 6 milliar dolar. Saya tetap optimis jika bekerja bersama secara lebih intensif, para desainer, arsitek mungkin juga seniman dan produsen rotan kita tak akan pernah kalah dengan potensi luar biasa kekuatan ekonomi kreatif Indonesia dimasa depan.


Budi Pradono