Furnitur Rotan Santai Cube
Dengan karakter yang lentur dan kuat,
rotan bisa menciptakan kemungkinan baru mendekonstruksi eksistensi furnitur tradisional
yang tak hanya fungsional, namun juga membuat dinding, atap, obyek-obyek
khusus, sekaligus ruang-ruang imaji anyar.
Pameran
IFEX 2015 (Indonesia International Furnitur Expo) 2015 Maret lalu di Pekan Raya
Kemayoran Jakarta adalah sebuah proyek eksperimentasi saya pada medium ekspresi
berbahan rotan. Seperti kita tahu bahwa Indonesia melimpah dengan material ini.
Saya
tertantang sebagai arsitek dan perupa membawa paras dan kekuatan rotan menjadi
segugus instalasi seni, yang uniknya bisa untuk duduk & menyandarkan
tangan. Bahkan, menciptakan suasana tubuh dan pikiran menjadi rileks setelah
menikmati pameran stand-stand lain dari berbagai negara. Karena itu saya
namakan Santai Cube, sebuah ruang
persegi empat untuk tempat rileks.
Dalam
pendekatan seni, saya ingin menciptakan
sensasi pada mata dan indera raba serta imaji-imaji khusus tentang
ruangan. Instalasi seni ini mengubah
pandangan fungsional desain furnitur berukuran kecil sebatas meja dan sofa dan
bisa jadi untuk tempat penerangan kap lampu, bahkan kemudian saya rombak total menjadi
satu kesatuan sekaligus. Sambung menyambung membentuk imaji ruang gigantik tersendiri
yang cukup luas, sekitar 8x 8 meter dengan ketinggian kira-kira 5,5 meter.
Furnitur
bagi saya bisa membentuk dinding dan atap yang transparan, jeruji-jeruji rotan
telanjang terlihat tanpa ada finishing
polish—yang sengaja saya lakukan dengan maksud elemen rotan alamiah hadir sebagai
simbol kewajaran, selanjutnya saya beri sentuhan warna hijau dan oranye teduh. Saya
berharap pengunjung stand Aida Rattan menemukan “oasis” untuk bersantai dalam
belantara pameran IFEX 2015.
Saya
berkolaborasi dengan Aida Rattan, produsen furnitur rotan dengan intensi
menyesuaikan konteksnya dengan event ekspo dengan ciri bahwa stand Aida harus
berbeda. Terutama memberikan nuansa cair, transparan dan ekstrovert. Sejak awal
memang saya tidak menyukai furnitur yang membentuk obyek yang cenderung terfragmentasi dan statis. Seharusnya,
furnitur membebaskan, menciptakan ruang besar baru dan merangsang
kesegaran-kesegaran paras materi rotan. Ini juga terkait erat dengan latar
belakang saya sebagai arsitek, yang selalu ingin membentuk ruang-ruang hunian
didalam obyek bangunan arsitektural.
Selain
itu, obyek furnitur semestinya membentuk visualisasi yang plastis bahkan
mungkin bisa “berdansa” dan mengajak pengunjung merasakan sensasi-sensasi
ruangnya yang terhubung dengan fungsinya yang tradisonal, tetap menjadi obyek
furnitur seperti sofa dan lain-lain
untuk duduk.
Furnitur
pada kahirnya tidak hanya menarik dalam segi bentuk dan materi lokalitas, namun
bisa menggugah cara pandang baru dalam mendekonstruksi tradisi desain rotan
gaya lama. Dari perspektif itu, saya menantang produsen Aida Rattan yang telah
10 tahun mendedikasikan dirinya untuk mengeksplorasi kemampuan materi rotan
Indonesia sebagai partner kerja. Saya mengeksplorasi sedemikian rupa materi
rotan yang ditawarkan untuk eksperimentasi dengan menekuk, melipatnya,
membiarkannya lurus dan membujur kemudian tiba-tiba saya berikan elemen seperti
lengkungan tajam serta meliuk. Dari sana kita bisa dengan baik membandingkan
kekuatan rotan yang sejatinya luwes mampu dieksplorasi dengan cara apapun, dibanding
kayu yang cenderung tak terlalu kuat dan “rapuh” untuk format yang ekstrem.
Merespon
pameran IFEX 2015, saya melihat sebuah tempat dengan misi trading dengan memperkenalkan produk dan item-item baru, yang
biasanya bermuara pada penjualan. Saya berpikir untuk melakukan sebaliknya, tak
hendak alergi dalam pengertian anti “menjual”, alih-alih saya mencobanya dengan
membuat furnitur dengan konsepsi yang lain. Maka, yang dijual adalah konsepsi
tersebut. Saya sangat tertarik bagaimana sebuah produk furnitur cenderung bersandar
pada nilai-nilai konsepsinya; yang hendak disampaikan message nya, seperti artwork,
sebuah karya seni.
Pada
sisi lain, saya ikut prihatin dengan kondisi dunia desain Indonesia, bahwa
sudah saatnya para desainer dan pemerintah bersinergi lebih kuat lagi, dengan
mengambil fakta bahwa secara nasional ekspor kita senilai 1, 2 dolar masih
tertinggal jauh dibanding negara dengan penduduk seperempat kali dari
Indonesia, yakni Vietnam yang telah membukukan ekspornya di pasar rotan dunia
dan menguasainya dengan nilai mencapai 6 milliar dolar. Saya tetap optimis
jika bekerja bersama secara lebih intensif, para desainer, arsitek mungkin juga
seniman dan produsen rotan kita tak akan pernah kalah dengan potensi luar biasa
kekuatan ekonomi kreatif Indonesia dimasa depan.
Budi Pradono
No comments:
Post a Comment