Tuesday, March 3, 2015

Sejarah Arsitektur, Keberpihakan dan Kekinian


Sudut pandang sejarah dalam arsitektur sangat penting untuk menemukan inovasi kekinian. Selain itu ada upaya merefleksikan keberpihakan sesuai semangat zaman. Sementara harapan baru tertanam di pundak Presiden Joko Wi dengan konsep Trisaktinya; yang bisa jadi memberi nafas baru model arsitektur kekinian.
Ikhwalnya arsitektur masa awal dibebani dua kutub saling berlawanan karena berbagai gejolak kepentingan dan fragmen politis. Yakni Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia. Yang pertama, bisa ditelusuri pada abad ke 18 pada kota Jakarta. Pada masa VOC menguasai dua Kota, New York dan Jakarta, yang kemudian mencanangkannya sebagai kota maritim yang mirip dengan kota Amsterdam.
Kita bisa mengenali dengan kanal-kanal di wilayah Jakarta Utara dan morfologi yang khas dengan ciri urbanisme membagi ruang publik dan privat dengan jalan-jalan pedestrian saling terhubung. Wilayah Manhattan selama 200 tahun sama persis, bahkan tak berubah.
Pergolakan politik dan kerusuhan merebak pada 1740, yang mengakibatkan ribuan etnis Tiong Hwa tewas karena menentang kebijakan pengurangan populasi etnis ini yang diterapkan VOC. Dikemudian hari hal ini menciptakan perubahan besar penataan kota Jakarta dengan dipindahnya kota administrative Batavia ke kawasan Weltevreden dan Koeningsplein yang sekarang kita kenal sebagai Lapangan Banteng dan Monas.
Pada momen itulah Jakarta meninggalkan ciri kota Maritim dan berpihak pada pertumbuhan dan perkembangan kawasan hinterland seperti Sudirman, Thamrin, dan Casablanca sebagai pusat bisnis. Semakin kompleksnya zaman kemudian pada pertengahan abad 20 segala hal yang berbau kolonial dihilangkan, termasuk para sebagian besar arsitek, urbanis bahkan dosen-dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB) berwarga negara Belanda yang dipulangkan kenegerinya.
Saat itu nasionalisme menjadi pedoman, bandul keberpihakan mengayun membuka kutub kedua: Arsitektur Indonesia. Presiden Soekarnolah yang merintis bangunan yang dikompetisikan, dengan rancangan arsitektur pemenangnya diimplementasikan sebagai simbol Negara, seperti gedung MPR-/DPR, Gedung Bank Indonesia, Masjid Istiqlal dan lain-lain.
Dari sana kita memahami arsitektur kolonial dengan arah Maritimnya diabaikan karena Jakarta mengalami kontestasi spasial politik tajam diantara pelaku-pelakunya yang dianggap reformis bersua dengan revitalis, kemudian andilnya kapitalis dan respon dari enviromentalis (Kemas Ridwan Kurniawan, Paradox 2012).


Keberpihakan Kapitalisme Liberal
Era Soeharto merubah haluan dengan keras dan 30 tahun menjadi mapan. Keberpihakan mengental pada kapitalisme model barat dengan momen booming minyak pada 80-an. Sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin hadir berderet gedung pencakar langit yang memiliki kemiripan bahasa arsitektural, bahasa kaca, yang hampir 85 % dirancang oleh arsitek Amerika. Inilah yang memicu hadirnya semangat baru di kalangan arsitek Muda Indonesia (AMI) yang mencoba bertindak berseberangan.
Tesis Anthony Giddens dalam “The Consequence of Modernity (1990)” benar-benar riil, bahwa kapitalisme modern membuka aibnya dengan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa, penindasan oleh yang kuat pada yang lemah, ketimpangan sosial dan pengrusakan lingkungan. Pemicunya kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir dan pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Puncaknya Soeharto jatuh, eforia kebebasan ekspresi yang terkekang membawa kegamangan, karena adanya krisis ekonomi dunia dan Indonesia terimbas berat (1998) yang berakibat letupan emosi masal dengan aksi penghancuran, penjarahan dan kerusuhan hebat di Jakarta.
Di era SBY keberpihakan arsitektural penguasa belum memiliki pola tertentu yang jelas, meskipun kompetisi bangunan publik mulai diperbanyak. Namun substansi dasar membangun rumah susun maupun sekolah atau universitas belum diserahkan pada arsitek yang berkonsep khusus dan jelas.
Pada lima tahun pertama gedung pemerintah yang menonjol adalah gedung Kementerian Perdagangan yang pada saat itu dijabat menterinya oleh Marie Elka Pangestu, dan menunjuk arsitek DCM untuk merancang gedung tersebut dan memperoleh penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) award.
Lima tahun terakhir pemerintahan SBY (2010-2014) isu tentang Arsitektur Nusantara dan Arsitektur Hijau semakin menguat. Hal ini didorong oleh percepatan informasi sebagai efek globalisasi yang mengakibatkan ketidak seimbangan alam (fenomena  bencana bumi, tanah longsor, tsunami, banjir), yang menyebabkan para arsitek mulai memperhatikan kembali aspek-aspek hijau di setiap bangunannya. Salah satu pemicunya karena adanya sertifikasi hijau oleh lembaga-lembaga independen seperti LEED di Amerika Serikat.
Di sisi lain Arsitektur Nusantara banyak sekali mendapatkan perhatian. Mulai diangkat oleh almarhun DR. Galih Pangarsa dari Universitas Brawijaya, Malang serta Josef Prijotomo, seorang Professor dari Universitas Sepuluh November, Surabaya. Adapun arsitek praktisi yang sangat antusias menyelamatkan kembali Arsitektur Nusantara adalah Yori Antar (Yayasan Rumah Asuh) yang salah satu karyanya yakni pembangunan kembali situs tradisional di Wae Rebo 7 mendapatkan UNESCO Award dan diganjar sebagai finalis pada Aga Khan Award. Sebuah  penghargaan tertinggi arsitektur yang setara dengan penghargaan hadiah Nobel.

Keberpihakan Pada Trisakti
Presiden Indonesia yang ke tujuh Joko Widodo atau lebih populer dengan sebutan Jokowi yang baru dilantik tentunya memberikan nafas dan harapan baru bagi arsitek maupun masyarakat Indonesia pada umumnya.
Jokowi dengan kabinet Kerja di jajaran kementeriannya acapkali mendengungkan amanat proklamator Republik Indonesia Soekarno dengan Trisaktinya, yakni kedaulatan di bidang politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian budaya untuk bangsa ini. Mudah-mudahan ini mengisyaratkan keberpihakan yang sangat jelas dan lurus arah dan pola politik arsitektural kita hari ini.
Semangat Trisakti kelihatannya menyebadan dengan lakon Jokowi yang tumbuh besar sebagai masyarakat biasa dan tinggal di pinggir kali di Surakarta, dan pernah mengalami penggusuran. Tentunya keberpihakan dan empati yang sangat besar pada masyarakat marginal yang terpinggirkan ada padanya.  Terbukti ketika menjabat sebagai gubernur DKI selama 1,5 tahun telah membenahi banyak hal dengan program-program yang inovatif yang dilaksanakan dengan sangat cepat. Baik itu rumah susun (kampung deret) atau pembenahan Pasar Tanah Abang.
Sebagai presiden yang gemar blusukan dan mendengar detak suara rakyat,  tentunya dia diharapkan memiliki kebijakan setingkat nasional misalnya rumah susun bagi masyarakat perkotaan yang tidak mampu, selayaknya wajib dirancang oleh arsitek Indonesia yang terbiasa mendesain hotel berbintang dan dikompetisikan secara terus menerus.
Sehingga menghasilkan social housing/rumah susun yang lebih manusiawi pada masyarakat kecil dan tidak hanya asal kotak. Namun memiliki areal-areal publik yang lebih nyaman, adanya ruang bertanam sayuran dan taman mungil vertikal yang tersedia. Semua inovasi akan hadir sejalan dengan keterbukaan dalam perancangan desain arsitekturalnya dan menata kota dengan aspek memperhatikan lingkungan.
Kita berharap semua cetak biru pengembangan kota dirancang oleh ahlinya yang berkompeten dibidangnya dan konsep Trisakti benar-benar bisa terwujud di negara ini dan memberi inspirasi bagi arsitektur kekinian.


Budi Pradono