© Sigit Ashar |
Mendaki gunung, lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samudra
Bersama teman berpetualang
- opening song Ninja Hattori produksi Indonesia-
18 Mei 2017, pada penghujung musim semi, berada pada masa peralihan ke musim panas, udara di sini sudah mulai menghangat. Berangkat dari daerah Toyo-Oka, kami menyusuri daerah hutan konservasi Mikata-gun di perfektur Hyogo. Stasiun Yoka pukul 8 pagi, sinar matahari pagi sudah mulai beranjak dari ufuk timur menyinari setiap sudut stasiun kecil yang jauh dari hiruk pikuk “keributan” kota. Disambut nostalgia dengan bangunan kecil stasiun Yoka bermaterialkan kayu, terbersit kenangan de-javu kecil bangunan-bangunan lama yang mulai terlupakan di masa kecil, atau kenangan kecil dari ingatan film anime dari negeri seberang ini. Petualangan kita hari ini akan dimulai dari sini.
© Sigit Ashar |
Stasiun Yoka sebagai check-point pertama perjalanan hari ini berada tepat di kaki dataran tinggi hutan Mikata-Gun, disambung oleh bus lokal daerah tersebut, perjalanan ini akan mejadi jalan yang panjang, secara fisik dan mental kami telah bersiap untuk melakukan perjalanan ini. Melihat dari hasil observasi kami sebelum melakukan perjalanan ini, medan kali ini merupakan objek yang secara aksesibiltas adalah yang paling berat. Bus telah siap membawa kami beranjak dari tempat tersebut. Pemandangan kaki gunung dan pedesaan menghiasi perjalanan kita, jalan berkelok dengan lebar jalan yang hanya cukup untuk melintas 2 bus, sesekali kami melihat sebuah pedesaan kecil di bawah gunung, namun hamparan luas lahan pertanian dan perkebunan mendominasi indra penglihatan kami selama perjalanan ini.
Kode dari supir bus
memberikan tanda kepada kami bahwa bus telah sampai di pemberhentiaan bus yang
paling dekat menuju ke objek tujuan. Sebuah halte kecil terlihat seperti sebuah
gubug menjadi penanda pemberhentian bus tersebut, gubug itulah check-point kedua kami. Hamparan sawah
dan hutan berada tepat di depan kita, di sanalah kita akan berjalan. Perjalanan
mendaki menurut aplikasi Google Maps menempuh
jarak sekitar 3,3 km memakan waktu kurang lebih 58 menit, namun entah karena
medan yang berat atau beban kita terlalu berat, perjalanan tersebut kami tempuh
kurang lebih hampir dua jam dari check-point
kedua menuju objek di kawasan hutan Mitaga-Kun.
Kawasan hutan Mikata-Gun
merupakan area konservasi alam perfektur Hyogo, artinya semua hewan dan pohon
di wilayah tersebut masuk dalam lindungan pemerintah. Rimbunan pohon memayungi perjalanan
kita mendaki dari check-point kedua
kami menuju ke objek tujuan, walaupun secara alamiah hutan di sini tidak dapat
dibandingkan dengan keindahan hutan di Indonesia namun kebersihan dan kerapian
serta keteraturan sangat patut untuk dipresiasi lebih,mungkin hal tersebut
sudah menjadi kelumrahan warga di Negara ini. Bagaimana perawatan hutan yang
sangat terjaga serta kebersihan objek konservasi ini sangat baik. Kami sesekali
berhenti untuk menenggak air minum sejenak sembari melihat alam sekitar, sangat
terlihat bagaimana sangat rapi dan teraturnya hutan tersebut, sehingga masih sangat
terjaga kealamiahannya, sesuatu yang patut dijadikan preseden yang baik.
© Sigit Ashar |
Waktu sudah
menunjukkan pukul 11.00, kami berjalan semakin mendekati objek tujuan, rasa
penasaran dan lelah yang telah sangat terasa mebuat kami semakin tidak sabar
untuk sampai di objek tujuan. Apakah objek tersebut sepadan dengan perjalanan
panjang yang sudah kami tempuh ini? Apakah objek ini mampu menjawab rasa
penasaran kami? Apakah di sana ada tempat berjualan makanan dan minuman?
(Karena kondisi saat itu persediaan cemilan dan minum sudah sangat terbatas),
mungkin itulah sebagian rasa penasaran kami terhadap objek tersebut.
Tepat pukul 12.00
akhirnya kami memasuki kawasan objek tujuan kami, “Wow..! ada UFO mendarat di
tengah hutan”, itulah kesan pertama saat memasuki kawasan Museum of Wood di hutan Mikata-gun, perfektur Hyogo, mengomentari
sebuah bangunan raksasa dengan bentuk bulat yang mencuat di tengah rimbun
pepohonan. Apa yang dipikirkan sang maestro dalam mendesain museum tersebut di
tengah hutan yang sangat susah untuk diakses.
© Sigit Ashar |
Museum of Wood karya sang maestro arsitek Jepang
Tadao Ando dapat dikatakan adalah sebuah antithesis
dari semua karya-karyanya yang terkenal oleh beton Ando-nya, museum of wood menggunakan
material kayu sesuai dengan peruntukan bangunan tersebut yaitu sebuah bangunan museum
untuk seni kayu. Karya tersebut menjadi sebuah statement dari Mr. Ando bahwa beliau mampu untuk bereksperimen
menggunakan material kayu di dalam karyanya. Museum ini dibuka pada tahun 1994
didekasikan sebagai persembahan untuk perayaan hari kayu yang ke-45 untuk
mengingat hutan yang hancur selama perang dunia kedua, sehingga wajar apabila
sang Arsitek memberanikan diri bereksperimen menggunakan material “baru”
tersebut. Komitmen terhadap konteks digariskan secara tegas terhadap
pengambilan axis sebagai acuan desain
bangunan, bahkan kita dapat merasakan keberadaan axis tersebut secara gamblang di lokasi.
© Sigit Ashar |
Lay-out bangunan sederhana berbentuk bulat dengan diameter 45
meter dan sebuah core inner court dengan
diameter sekitar 25 meter merupakan gambaran singkat yang mampu menggambarkan bentuk
bangunan tersebut. Dipotong garis lurus tegas direpresentasikan oleh sebuah
koridor penghubung bangunan utama yang memotong sama besar bangunan di tengah
menuju sebuah area observatorium di ujung koridornya sebagai area gardu
pandang, kita di ajak untuk melihat, merasakan hutan di kawasan sekitar
bangunan tersebut berdiri. Sebuah kombinasi dan tranformasi bentuk geometris
sederhana yang dieksekusi secara apik, sehingga tersajikan sebuah bentuk jujur
dari sebuah karya desain arsitektural.
Ditampilkan secara gigantis seperti sebuah tempat pemujaan
di tempat terpencil, bangunan ini memberikan efek kejut langsung terhadap
pengamatnya, menjadi landmark untuk
kawasan di sekitarnya, teringat sebuah desain karya dari Tadao Ando yang lain di
kawasan pulau Naoshima, dimana beliau membangun sebuah komplek kawasan seni
dengan dibangun banyak museum di pulau terpencil yang diharapkan menjadi motor
penggerak wisata pulau tersebut. Apakah pendekatan yang sama dilakukan di dalam
konsep desain bangunan Museum of Wood?
Menjadi penggerak destinasi kawasan tersebut? mungkin dapat ditelaah lebih
dalam lagi.
© Sigit Ashar |
Disambut senyum ramah
dari sang receptionist, kami mulai
memasuki gallery Museum of Wood, pertunjukan lain disuguhkan oleh Mr. Ando di dalam
bangunannya. Kolom-kolom kayu raksasa menjulang tinggi menyentuh langit-langit
transparan menyuguhkan semburat sinar matahari menerangi karya-karya seni kayu
di bawahnya. Sederetan karya seni dan beberapa ruang exhibition dan riset mengenai perkayuan dinanungi oleh kolom-kolom
raksasa tersebut. Kolom-kolom raksasa
penegas betapa terdepannya Mr. Ando dalam eksplorasi material kayu untuk
bangunan ini, tiang yang disusun dari susunan bilah-bilah kayu
merepresentasikan begitu rapihnya dan teraturnya pertukangan di sana. Bentuk yang
merepresentasikan sambungan struktur kayu tradisional diolah secara apik dengan
teknologi yang modern.
Tidak susah kami
untuk mengeksplorasi setiap ruang-ruang di gallery
tersebut, dengan bentuk lay-out sederhana
tidak butuh waktu lebih dari satu jam kami sudah dapat melihat setiap ruang
dalam bangunan tersebut. Berbagai macam seni kerajinan kayu dipamerkan di gallery tersebut, dari seni craft yang bersifat handy hingga seni kayu berbentuk bangunan disajikan di dalam gallery tersebut, dari seni kayu dari
kawasan daerah tersebut hingga seni kayu dari manca negara disajikan di
dalamnya dan tentu salah satu yang menarik adalah ditampilkannya model maket
rumah Gadang dari Sumatera Barat turut dipamerkan. Terlihat bagaimana masyarakat
Jepang sangat menghargai setiap karya seni perkayuan dari manapun, baik dari
skala kecil hingga skala yang besar.
© Sigit Ashar |
Tiba saatnya ketika
rasa lapar sudah mulai terasa, kami harus segera turun ke bawah karena tidak
adanya tempat untuk mengisi kekosongan perut kami. Jadwal bis yang sangat
mengikat juga memaksa kami untuk beranjak dari karya sang maestro. Jalan turun
masih panjang dan berliku, kita harus tetap sehat, tetap kuat, karena
petualangan kami tidak berhenti sampai di sini.
© Sigit Ashar |
Sigit Ashar, BPA