Tuesday, May 6, 2014

The City within the city, Kota di dalam kota (1)

The City Within the City 
Oswald Mathias Ungers, OMA, 
and The Project of The City as Archipelago

Ini adalah sebuah rangkuman atau catatan dan terjemahan bebas dari satu bab City inside the city dari buku "The Possibility of an absolute architecture" karya Pier Vitorio Aureli. yang diterbitkan oleo MIT press tahun 2011

            Pada era 1970-an, Berlin Barat menghadapai krisis urbanitas yang berkelanjutan. Mengikuti pecahnya Perang Dunia II, perpecahan Jerman menjadi dua blok yang berlawanan, dan pemekaran Berlin menjadi dua kota – Berlin Timur sebagai ibukota Republik Demokrasi Jerman, dan Berlin Barat sebagai negara bagian kesebelas Jerman Barat – Jerman Barat menjadi sebuah pulau, sebuah negara-kota yang dibatasi oleh dinding melingkar dan dikelilingi oleh wilayah perseteruan. Karena pertahanan ini, Berlin Barat tidak pulih dari krisis setelah perang. Kota ini masih berisi lahan kosong yang luas dimana gedung-gedung berada dan bagaikan pulau yang terisolasi, dan di tahun 1970-an, populasinya menurun.
            Pada tahun 1977, sekelompok arsitek meluncurkan proyek penyelamatan yang berjudul Berlin sebagai Kepulauan Hijau. Dipimpin oleh Oswald Mathias Ungers, kelompok tersebut beranggotakan Rem Koolhaas, Peter Riemann, Hans Kollhoff, dan Arthur Ovaska. Bagi para arsitek ini, permasalahan setelah perang yang ada di Berlin menghadirkan potensi model sebuah “kota di dalam kota,” atau menurut istilah Ungers, sebuah “kota yang terdiri dari pulau.” Pendekatan ini mencerminkan konsep pengarahan dari proyek urban Ungers, yang dikembangkan oleh ia dan muridnya di tahun 1964 hingga 1977, pertama saat ia mengajar untuk pertama kalinya di Technical University di Berlin (1963-1969) dan selanjutnya di Universitas Cornell (1968-1986). Ungers ingin mengubah karakter istimewa Belin sebagai kota yang terbagi secara politis dalam kesulitan ekonomi menjadi laboratorium untuk proyek kota yang melawan pendekatan teknokratis dan romantis yang populer pada waktu itu. Berlin Sebagai Kepulauan Hijau juga bisa dipahami sebagai salah satu dari kritik awal kepada restorasi perimeter blok milik Krier bersaudara, yang akan berdampak besar pada rekonstruksi Berlin di tahun 1980-an hingga 1990-an.Realita terfragmen Berlin – sebuah kota yang menjadi reruntuhan akibat perang, namun intensitas politiknya mencerminkan posisinya sebagai ‘pusat’ perang dingin – memberikan Ungers sebuah dasar untuk menginterpretasikan kota tersebut sebagai sebuah kesatuan tidak lagi bisa dipercaya pada perencanaan kota dalam skala besar, tapi lebih membentuk kepulauan, yang masing-masing dipahami sebagai kota-mikro yang berbeda secara formal. Ungers menghasilkaan pendekatan ini dari Karl Friedrich Schinkel, yang merupakan arsitek kota Berlin selama pertengahan awal abad ke-19. Schinkel membayangkan ibukota Prussia sebagai tenunan yang diselingi oleh intervensi arsitektur tunggal, lebih dari sebuah kota yang direncanakan bersama prinsip-prinsip desain tipikal kohesif dari periode baroque. Bagi Ungers, pendekatan ini bisamengatasi fragmentasi setelah perang Belin dengan mengubah krisis tersebut (ketidakmungkinan merencanakan kota) menjadi proyek arsitektur kota. Mengikuti cara berpikir ini, Ungers mengembangkan teori sebuah kota sebagai kepulauan, menyusutkan kota hingga ke poin kepadatan urban sebagai cara untuk merespon penurunan dramatis populasi di Berlin Barat. 
             Berlin sebagai Kepulauan Hijau (green archipelago) adalah satu dari beberapa proyek dalam sejarah perencanaan kota untuk mengemukakan suatu krisis urban dengan mengganti fokus secara radikal dari problem urbanisasi – kelanjutan dari pertumbuhan kota – ke penyusutan kota. Kepulauan Unger dilihat untuk membingkai dan sehingga membentuk kota yang ada dengan menerima proses penurunan populasinya. Penerimaan ini tidak diproyeksikan sebagai sebuah “disurbanisasi” kota, tetapi sebagai cara untuk menguatkan bentuknya dengan mengartikulasikan batas-batas dari setiap “pulau” dalam sebuah kepulauan dari artifak-artifak dengan skala besar.
             Melawan visi utopian dari pembubaran kota atau, sebaliknya, keidealan mereduksi kota menjadi system yang menyeluruh, atau bahkan mengembalikan imej kontrol urban dengan konsolidasi bentuk-bentuk seperti dari perimeter suatu blok, Berlin sebagai Kepulauan Hijau menawarkan sebuah paradigma yang melampaui referensi modernis dan post-modernis dan bahkan hingga hari ini tidak terlalu diapresiasi karena logika provokatif-nya. Logika ini terungkap dengan menelusuri perkembangan proyek-proyek kota milik Ungers melalui beberapa serial proposal dan studi penelitian yang ia kerjakan pada tahun 1960an dan 1970an. Serial ini bisa dilihat sebagai suatu proyek yang mencapai kulminasi pada kota Berlin sebagai Kepulauan Hijau, khususnya saat seseorang mempertimbangkan proyek urban desain seminal karya Unger, riset didactic nya pada Berlin, dan kemudian link antara karya dan teori-teorinya dan usaha awal OMA untuk mendefinisikan “arsitektur metropolitan”. Pertukaran intelektual antara Ungers dan OMA adalah salah satu dari cara paling menarik dalam penelitian / riset tentang kota di tahun 1970-an, meskipun jika itu tidak cukup dikembangkan. Pertukaran ini tidak hanya berdasarkan kolaborasi antara Koolhaas dan Ungers dalam proyek-proyek penting, namun juga pada kesamaan ketertarikan mereka dalam pengembangan “cara ketiga” untuk menyebut proyek kota ini. Keduanya ingin bergerak melampaui kebuntuan yang direpresentasikan oleh perencanaan kota modernis dan permulaan dekonstruksi postmoderen tentang proyek apapun tentang kota.

No comments:

Post a Comment