Thursday, November 20, 2014

Kepejalan & Kerapuhan Pameran Seni Keramik

Oleh: Bambang Asrini Widjanarko

Menyaksikan sebuah hajatan besar seni dua tahunan memberi kesan tersendiri. Apalagi partisipan internasional lumayan memukau karyanya. Seniman lokal pun tak kalah untuk bersaing menyoal mutu.
Galeri Nasional akhir September sampai pertengahan Oktober ini cukup menarik perhatian publik seni dengan pameran seni Jakarta Contemporary Ceramic Biennale # 3, 2014 dengan tema “Coefficient of Exspansion”. Temanya dipilihkan para kurator dengan cara menggiring ide tentang materi dan menawarkan pada para seniman tertentu kemampuan untuk menafsirkan dan melompati batasan-batasan kaku yang disebut sebagai seni keramik. Sebuah areal yang bagi seniman adalah sumber untuk bereksplorasi dan memunculkan karya-karya yang tak terduga.
Perhelatan ini kelihatannya diselenggarakan dengan cukup teliti,  membuat pemetaan seniman dengan prioritas-prioritas khusus yang telah berjalan selama tiga kali perhelatan. Orang-orang yang terlibat pun cenderung sama  semenjak dirintis pada 2009. Mereka konsisten meriset, membangun konsep, mengundang dan menseleksi para seniman yang  melakukan kerja-kerja di studio tertentu (workshop) dengan kelompok pekerja seni keramik lokal dan kalangan “industriawan keramik”, serta seniman keramik manca negara, setidaknya setahun terakhir. Kerja yang cukup melelahkan tampaknya.
Kurator memasukkan karya-karya yang disajikan di pameran dengan kriteria-kriteria mana  yang dianggap  seni; dan mau tidak mau mengklasifikannya sebagai seni kontemporer. Selanjutnya mana yang dianggap “masih kriya” atau craft alias kerajinan belaka—seperti yang disebut di katalog asal-muasal seni bermateri keramik oleh para kurator dalam pandangan akademisi barat pada seni modern. Sampai yang terakhir mana yang masuk dalam arena industri, yakni desain. Sebuah area dimana porsi fungsional berskala besar diproduksi dan dekat dengan kebutuhan-kebutuhan instan budaya kontemporer hari ini.
Menjadi menarik jika kita amati mereka yang oleh para kurator didefinisikan “menerabas”, yakni dibebaskan yang tidak lagi mementingkan materi dan teknik baku dalam seni keramik, apalagi tidak harus diproduksi secara masal. Siapa lagi jika bukan para seniman-seniman kontemporer. Mereka tak harus dinilai berhasil atau tidak mengalami proses tahapan pembakaran keramik dari hasil karyanya  yang dikatakan sempurna. Atau,  bahan dasar tanah liatnya sesuai dengan standar keramik, atau yang dimasukkan kriteria apakah mereka memakai  materi khusus di tanah air yang bisa menghasilkan sebuah karya yang disejajarkan dengan porselain? Bahkan yang terekstrem, mereka bisa jadi awam sama sekali soal materi keramik.   

Sensasi Visual
Maka nama seniman kita seperti Dadang Christanto, perupa yang bermukim di Australia, cukup bagus dipresentasikan sebagai pembuka di gerbang utama galeri dengan  “Java (2011)”. Kita tidak lagi disibukkan dengan teknik dan materi pada Dadang, dan ia bukan atau masuk dalam kriteria seniman keramik, namun kekuatan konsep dan narasi visual yang diunggulkan. Dengan jelas visualisasinya menggiring pada aura kematian dan keterpurukan kemanusiaan dengan tumpukan kepala tengkorak dari tanah liat. Materi di karya Dadang pun menghablur dan pudar, karena kita melihat disana esensinya ia bercerita tentang pembantaian masal tahun 60-an di tanah air.
Citra yang ditampilkan Dadang segera berbalik sensasinya jika kita menemui karya Yuli Prayitno, perupa asal Jogja. Yuli tahu jika keramik selalu identik dengan sebuah materi yang rapuh, gampang pecah, meskipun dibakar dalam suhu yang tinggi. Maka ia tak harus menggagas sebuah narasi yang seheroik Dadang. Ia cukup mempermainkan kesan yang rapuh dengan kesan yang pejal, atau mungkin malahan kesan yang lebih dari pejal, yakni karet. Maka sensasi yang kita terima adalah gambaran kerapuhan yang molor dan mungkret. Karya yang menggambarkan seolah barang-barang antik dan kuno, mangkok dan piring keramik Tiongkok, tiba-tiba tatkala kita sentuh menjadi elastis dan kenyal. Sebuah karya cerdas yang terbuat dari dari karet silikon dengan judul “Handle With Care Not Fragile (2014)”.
Gaya mempermainkan sensasi optis dengan strategi seperti Yuli tapi di tampilkan “sesangar” kisah Dadang adalah karya milik Shamsu Muhammad. Perupa matang yang belajar keramik ke Jepang dari negeri Jiran, Malaysia ini membubuhkan judul “Enslavement (2014)”. Cukup terdengar mengerikan bukan?  Ia menceritakan sejarah perbudakan dengan ikon-ikon rantai, yang benar-benar pejal, padat, karena terbuat dari besi. Dan dikomparasi  dengan bentuk-bentuk keras lain dari logam, seperti pengait yang runcing. Semua itu kemudian dilawankan dengan bentuk menyerupai segitiga, sepertinya bentuk lonceng yang bermateri tanah liat nan rapuh. Hasilnya, dua materi ditumbukkan,  menawarkan kekerasan yang pejal “membunuh” kerapuhan di sisi lain.
Karya lainnya, bagaimana jika kesan “sakralnya” materi porselain dan citra lukisan klasik  disandingkan dengan sesuatu yang  sehari-hari; dan biasanya terbuat dari plastik dalam  produk-produk budaya urban. Seperti misalnya sebuah pengharum ruangan mencipta sensasi khusus. Anda akan menemui karya milik Wan Li Ya dari Tiongkok,  dengan “Birds Twitter and Flowers Fragrance (2014)”. Maka yang hadir adalah impresi yang sensitif  dan adiluhung menjadi remeh dan terabaikan. Tapi karya ini tetap istimewa karena bahannya terbuat dari porselain, yang menurut kurator pameran adalah jenis bahan dengan nilai “tertinggi” pada seni keramik-- ala seni modern; dalam artian  bukan fine art, tapi seni kriya yang paling bagus.  Maka karya milik Wan Li Ya dalam perspektif  seni kontemporer telah berhasil menciptakan paradoks. Menanyakan ulang, sampai dimana sebenarnya yang dikatakan yang tinggi dan adiluhung itu pada seni keramik itu?
Kerapuhan dan kefanaan manusia yang kerap menjadi tema di perhelatan seni kontemporer  coba disindir ulang di karya milik seniman muda kita, yakni Dhea Widya dengan “Ephemermal Body (2014)”. Makna ashes to ashes, dust to dust dalam filsafat tubuh yang fana dan keyakinan spiritual menyentuh kita. Dhea membuktikan bahwa instalasinya dengan tanah liat versus air dan karya instalasi videonya bisa membuka relung-relung jiwa tentang tubuh manusia.
Karya yang cukup puitis Dhea Widya lagi-lagi bertolak belakang soal ke-tubuhan yang “di molek-molekkan” milik karya seniman Kim Joon dari Korea dengan misalnya dengan  “Absolut Vodka (2014)”. Ia melawankan sebaliknya karya Dhea, melebih-lebihkannya, menafsirkan manusia dan tubuhnya dalam gelora voyeurism. Raga adalah keindahan materialistik hari ini yang dipuja-puja menjadi “abadi”.
Dan seperti kita tahu,  budaya kontemporer merayakan sampai titik kulminasi dimana hasrat yang tak pernah henti dipuaskan, apalagi medium milik Kim Joon adalah digital print. Medium yang banyak mengingatkan kita dan mudah kita temui dalam reklame-reklame atau etalase/butik di Mal-Mal, atau sebaliknya: di kampung-kampung kumuh di Jakarta, berselebaran di iklan-iklan plastik digital di warung kopi.
Seharusnya kurator menyandingkan dua karya yang mengeksplorasi ide sejenis, dan mempertentangkannya dalam satu ruang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Shamsu dengan Yuli atau Dadang, sementara  Dhea dengan Kim Joon. Pastilah akan semakin menarik untuk dinikmati.
Sementara itu, kita menoleh pada karya yang agak berbeda dengan lainnya. Yakni apa yang dilakukan arsitek cum seniman kontemporer Budi Pradono dengan “Clay City (2014)”.  Arsitek kita jebolan Insitut Berlage Belanda ini membangun gugusan batu bata dengan komposisi yang meruang. Mengapit dua pintu yang menghubungkan dua ruang didalam gedung Galeri nasional. Budi memberi semacam penanda bahwa kebudayaan tua dan peradaban-peradaban kuno di sungai Tigris, Irak atau di Asia Selatan juga memulai dengan tradisi membangun rumah dari materi teracota. Budi menegaskan bagaimana kita dan rumah sejatinya adalah sebuah sejarah yang panjang  sampai apa yang disebut sekarang sebagai sebuah kota dengan rumah-rumah yang dikatakan modern.
Dari pameran tersebut, penulis mewawancarai salah seorang kurator yang memang mengakui ada beberapa kelemahan-kelemahan. Misalnya tidak tampilnya karya-karya dalam jumlah dan skala besar dan bisa diletakkan di outdoor dengan kriteria instalasi site spesific. Misalnya di halaman depan  dan samping  Galeri Nasional atau bisa jadi di stasiun Gambir.  Bukankah seni kontemporer salah satu parameternya adalah kekuatan menjelajah medan di luar ruang galeri, hingga lebih dekat  dengan publik luas? Ini juga mengenai ukuran  yang menghentak, yang membuat kesadaran akan makna “kerapuhan” materi keramik  bisa diperbesar, dihiperbolikkan.
Pada akhirnya menghelat sebuah pameran besar memang mengandung resiko-resiko. Dibalik kerja keras dan soliditas tim, ketelitian dalam  menseleksi para pekerja seni & seniman kemudian  memilih-memilahkannya, mengagurmenkannya dengan teori- teori akademis, mengamati dengan seksama tren industri keramik dan kelompok-kelompok serta komunitas seni keramik di Indonesia bertahun-tahun untuk meneguhkan sebuah konsep kecenderungan baru, sampai wajib “turun-gunung”. Di beberapa wilayah meneliti kondisi – kondisi studio yang minim atau tidak infrastrukturnya untuk residensi seniman mancanegara adalah sebuah konsekuensi.
Maka dari sekian hal tersebut, jika ada kelemahan tentu ada hulunya , yakni: keterbatasan-keterbatasan sumber daya manusia dan pendanaan, serta infrastruktur dukungan. Pembiayaan yang semaksimal mungkin memang kudu segera direalisasi dalam masa mendatang. Kita berharap  Kemeterian pendidikan dan kebudayaan atau kreatif- pariwisata dalam kabinet Joko Wi sudah selayaknya terus memiliki kekuatan politik untuk bersikap memihak dengan tegas dalam acara-acara yang sejenis.

Bambang Asrini Widjanarko

Pengamat Seni

No comments:

Post a Comment