Oleh : Budi Pradono, IAI.
Apakah rumah moderen itu? Sebuah pertanyaan yang yang selalu mengusik saya selama beberapa bulan. Saya tidak bisa menjawab begitu saja, terlebih setelah saya renungkan lagi, saya merasa bahwa rumah hanyalah sebuah produk, sebuah akumulasi pergulatan tidak saja bagi arsiteknya tetapi juga bagi pemilik rumah. Saya ingin mengembalikan relasi antara manusia dan alam.
Relasi ini ternyata penting terlebih lagi karena kita tinggal di negara tropis, dimana kita tidak pernah memiliki perbedaan iklim yang ekstrem seperti di negara Sub-tropis yang memiliki 4 musim. Disana relasi antara manusia dan alam memiliki satu garis yang sangat tipis untuk memisahkannya, sehingga antara bangunan (built environment) dan alam mempunyai dinding batas yang keras atau kuat; bisa berupa dinding kayu, beton, batu, ataupun kaca yang transparan. Hal ini untuk mempertahankan suhu di dalam ruang ± 25°C karena suhu diluar yang mungkin diatas +40°C atau bahkan dibawah nol, dimana tingkat kenyamanan manusia untuk tinggal menjadi sulit.
Di negara tropis seperti Indonesia yang tepat berada di khatulistiwa memiliki suhu rata-rata yang hampir sama dan itu berlangsung selama 360 hari dalam satu tahun kalender. Hal inilah yang menyebabkan relasi manusia dan alam begitu dekat, kedekatan itu bahkan tidak perlu lagi dipisahkan oleh dinding yang massif, atau kaca yang transparan. Jika kita perhatikan lagi bangunan-bangunan vernakuler dari Sabang sampai Merauke semuanya memiliki ciri-ciri yang hampir mirip, yaitu keterbukaan dengan alam. Pada tradisi rumah Jawa mereka memiliki pelataran (courtyard) umumnya berupa tanah lapang di depan rumah utama, kadang bercampur pasir dan ditumbuhi tanaman sawo kecik atau kepel. Relasi antara pemilik rumah dan pelataran ruang merupakan relasi yang unik yang saling membutuhkan dan relasi ini penuh bukaan tanpa satu batas yang rigid.
Pohon sawo kecik akan memberikan buah yang berguna bagi pemilik rumah, begitu juga buah kepel yang bisa menghangatkan badan. Di siang hari pohon ini menerangi pelataran hingga tidak terlalu panas. Terlebih lagi di Bali, rumah-rumah tradisionalnya serba terbuka, dibatasi dinding yang mengelilingi beberapa paviliun yang mengitari natah / pelataran (courtyard) di tengah, kita bahkan harus kepanasan atau kehujanan untuk berpindah dari satu ruang ke ruang lain. Keterbukaan ini juga merepresentasikan relasi yang unik antara manusia penghuninya dan alam.
Pada komplek-komplek perumahan di Indonesia karena kebutuhan perumahan di Kota (urban) sangat tinggi dan belum ada kebijakan rumah susun, yang terjadi adalah pertumbuhan model mesin rumah-rumah mungil dengan bentuk dan program ruang yang hampir sama seperti copy & paste. Inilah bentuk- bentuk kapitalisme yang merusakan relasi manusia dengan alam. Lahan yang sudah sangat sempit selalu dibagi dalam 2 bagian bangunan dan nonbangunan (alam) tanpa perlu mempertanyakan kembali relasi antar ruang luar dan dalam itu, kemudian fasade depannya dipercantik dengan berbagai warna dan asesories. Inilah relasi yang terputus antara alam dan manusia atas nama moderenisme. Lalu apakah hal ini dapat dikategorisasikan sebagai rumah moderen? prasyarat apakah yang harus dipenuhi bagi rumah moderen ? apakah harus beratap datar ? haruskah memiliki roof garden di atasnya ?
Jika kita merujuk pada tulisan arsitek Le Corbusier tentang rumah moderen. Maka sebenarnya roof garden bukan Sesuatu yang baru. Bahkan pernah diusulkan oleh Le Corbusier dimana dia selalu menciptakan roof garden di atas atap. Jadi kalau kita menciptakan rumah datar dengan atap diatas beton, lalu diberi rumput diatasnya dibuat roof garden, ini sudah lama dibuat oleh Le Corbusier sejak 1930. Kalau ide roof garden sudah usang lalu apa yang menjadikan sebuah rumah dapat dikategorikan moderen?
Menurut saya mereinterpretasikan modernitas pada rumah tropis adalah dengan mempertanyakan kembali batas-batas yang rigid antara bangunan dan alam. Mempertanyakan kembali materialnya serta tingkat phorositas bangunan tersebut yang kuantitasnya beragam, karena hal itulah yang menghadirkan ruang yang ambigu, terutama ketika alam dengan bebas menerobos masuk seperti sinar matahari yang melewati celah-celah kecil dari atap.
Le Corbusier & Ludwig Mies Der Rohe keduanya mendapatkan pendidikan Beaux-Arts adalah Institusi dengan pendidikan Arsitektur bergaya orthodox pada waktu itu. Sehingga mereka kurang mendapatkan legalitas dari pemerintah. Tetapi mereka memiliki amunisi baru dengan menciptakan rumah di daerah sub-urban. Disanalah Corbusier berhasil memamerkan Villa Savoye yang menghilangkan semua Ornamen dan sekaligus membebaskan bangunan ini dari bentuk struktur beton yang rigid menjadi lebih fluid (spatial Fluidity). Pada tahun itu ketika berakhirnya perang dunia pertama yang menjadi isu utama adalah kekurangan perumahan & rumah susun untuk rakyat. Karena banyaknya kehancuran akibat perang dan juga kembalinya para pejuang dari medan pertempuran dan mereka membutuhkan perumahan untuk anak-anaknya. Krisis perumahan pada saat setelah Perang Dunia I (PD I ) tumbuh juga para ‘middle class’ yang membutuhkan rumah-rumah individual sebagai rumah kedua / weekend house. Le Corbusier & Ludwig Mies Der Rohe menjadi pionir dalam arsitektur moderen.
Ini ditegaskan dengan pameran mereka di Museum of Modern Art, New York berjudul ‘International Style’ menjadi model perumahan sub-urban. Pameran tentang International Style yang membuat debut Corbusier dengan iconic Independent House itulah awal dari Modernisme. Buku utama Le Corbusier : (Towards a New Architecture 1924) diakhiri dengan kalimat Architecture or Revolution? “Revolution can be avoided”. Corbu dan Mies telah melakukan pembacaan sekaligus perlawanan yang kritis pada kontemporaritas jamannya, sehingga rumah karya mereka disebut pioneer arsitektur moderen.
Jika kita kembali melakukan refleksi soal rumah moderen saat ini di Indonesia. Tantangan kekiniannya adalah bagaimana mengembalikan rumah tropis pada hubungannya dengan alam. Jadi rumah moderen Indonesia tidak harus selalu kotak atau tidak harus menggunakan kaca. Label moderen disematkan jika rumah itu menjawab kebutuhan kekinian masyarakat baru Indonesia. Juga harus dapat menjawab tantangan baru berupa penghematan energy dan adanya usaha merespon alam yang mengalami degrasi kualitas dan hantaman kerusakan lingkungan yang parah.
Masyarakat kelas menengah di Eropa & Amerika tahun 30-an dan Indonesia saat ini memiliki kesamaan motif untuk memiliki rumah kedua yang lokasinya jauh dari pusat kota. Model rumah bagi kelas menengah di Indonesia umumnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ‘gated community’ karena alasan keamanan. Boom rumah-rumah tinggal di Amerika pada tahun 30-an menjadi penggerak ekonomi karena didukung oleh sistem kepemilikan yang mudah dari bank. tapi hal itu telah berubah ketika beberapa waktu lalu tahun 2009 Amerika mengalami kemunduran ekonomi karena kegagalan model perumahan mortgage system.
Ketika Era bangunan kolonial telah berakhir, era regionalisme tahun 80-an juga berakhir digantikan dengan pengaruh keterbukaan informasi dan globalisasi tahun 90-an, generasi arsitek saat ini sangat dimanjakan oleh pengaruh moderenisme visual berdasarkan image / foto dari internet sehingga copy paste dan peniruan tampaknya mewabah tidak saja di Indonesia, tapi diseluruh Negara-negara Asia yang sedang menggeliat. Rumah moderen akhirnya menjadi symbol sukses pada masyarakat kelas menengah baru. Saya membacanya banyak arsitek yang menjadi terjebak pada pragmatisme dimana rumah moderen sebagai kritik atau sebagai alat untuk menghadirkan konsep baru sangat minim. Sehingga yang banyak tercipta adalah kotak sabun raksasa tanpa konsep yang kritis, panas, higienis dan sangat bergantung pada teknologi AC. Hal ini diperparah lagi dengan rendahnya apresiasi masyarakat pada arsitek, ini bisa dimaklumi jika rasio jumlah orang Indonesia yang melanjutkan study ke jenjang Universitas tidak sebanding dengan jumlah penduduk secara keseluruhan.
Dalam abad 21 ini saya ingin kembali mereposisi arsitek sebagai salah satu ujung tombak bagi konsep-konsep yang kritis pada lingkungan baik secara urban maupun spasial, dalam mengajukan proposal rumah modern tunggal untuk para middle class. Akhirnya rumah modern harus dapat menjawab kekinian masyarakat yang gandrung akan gadget & teknologi tapi bahwa rumah ini menjadi sangat personal & boutique. Memberikan satu kritik membangun bagi masyarakat kita.
Saya ingin mengutip catatan penting dari Corbu;
You employ stone, wood and concrete and with these materials you building houses and places. That is construction. Ingenuity is at work. But suddenly you touch my heart, you do me good. I am happy and I say : “this is beautiful”, that is architecture. Art enters in. My house is practical. I thank you. As I might thank railway engineers or the telephone service. You not touched my heart. But support that walls rise towards heaven in such away that I am moved. I perceived your infusions. Your mood has been gentle, brutal, charming or noble. The stones you have erected tell me so you fix me to the place and my eyes regard it. They be hold something which express a thought. A thought which reveals itself without word or sound, but solely by means at shapes. Which stand in a certain relationship to one another. These shapes are such that they are clearly revealed in light. The relationship between them have not necessarily any reference to what is practical or descriptive. They are mathematical creation of your mind they are the language at architecture, by the used of inner materials and starting from conditions more or less utilitarian, you have aroused my emotions. This is architecture.
Le Corbusier, Vers Une Architecture 1923
Kutipan Tulisan Corbusier diatas yang ditulis pada tahun 1923, hingga kini masih tetap relevan ketika batu, kayu maupun beton memiliki content seni di dalamnya material tersebut menyentuh hati kita itulah definisi arsitektur. Dengan perkembangan jaman definisi arsitektur juga semakin kaya dan panjang termasuk penambahan teknologi otomatisasi yang mempermudah manusia mengendalikan system / aparatur di dalamnya. Hal itu juga pasti harus ditambah penghematan energy dan relasinya dengan alam sekitarnya.
Tugas arsitek seperti kita adalah meredefinisi ulang konsep bertinggal yang menyerap kemajuan gadget dan kehidupan kekinian. Tentunya seberapapun biaya atau anggaran suatu arsitektur untuk penyusunan dan penggunaan material dituntut untuk memberikan citra dan roh seni keindahan yang disesuaikan dengan lokalitasnya, kebudayaan dan lingkungannya. Sehingga arsitektur kembali akan menyentuh hati. Lalu ukuran modernitasnya apa?
Di setiap jaman memiliki karakteristik sendiri seberapa kritis kita sebagai arsitek untuk menyatakan kebaharuan program ruang, lifestyle bahkan kebiasaan-kebiasaan baru di suatu tempat, sekaligus struktur yang digunakan serta konsep sustainabilitas-nya. Hasil akhir suatu bangunan rumah moderen adalah artefak bagi sikap kritis arsitek-nya, karena kemudian ketika menjadi berbeda, akhirnya menjadi tolok ukur moderenitas pada jamannya. (Budi Pradono 2011)
No comments:
Post a Comment