Oleh:
Bambang Asrini Widjanarko
Menyaksikan
sebuah hajatan besar seni dua tahunan memberi kesan tersendiri. Apalagi partisipan
internasional lumayan memukau karyanya. Seniman lokal pun tak kalah untuk
bersaing menyoal mutu.
Galeri
Nasional akhir September sampai pertengahan Oktober ini cukup menarik perhatian
publik seni dengan pameran seni Jakarta Contemporary Ceramic Biennale # 3, 2014
dengan tema “Coefficient of Exspansion”. Temanya dipilihkan para kurator dengan
cara menggiring ide tentang materi dan menawarkan pada para seniman tertentu kemampuan
untuk menafsirkan dan melompati batasan-batasan kaku yang disebut sebagai seni
keramik. Sebuah areal yang bagi seniman adalah sumber untuk bereksplorasi dan
memunculkan karya-karya yang tak terduga.
Perhelatan
ini kelihatannya diselenggarakan dengan cukup teliti, membuat pemetaan seniman dengan
prioritas-prioritas khusus yang telah berjalan selama tiga kali perhelatan. Orang-orang
yang terlibat pun cenderung sama
semenjak dirintis pada 2009. Mereka konsisten meriset, membangun konsep,
mengundang dan menseleksi para seniman yang
melakukan kerja-kerja di studio tertentu (workshop) dengan kelompok
pekerja seni keramik lokal dan kalangan “industriawan keramik”, serta seniman
keramik manca negara, setidaknya setahun terakhir. Kerja yang cukup melelahkan
tampaknya.
Kurator
memasukkan karya-karya yang disajikan di pameran dengan kriteria-kriteria
mana yang dianggap seni; dan mau tidak mau mengklasifikannya
sebagai seni kontemporer. Selanjutnya mana yang dianggap “masih kriya” atau
craft alias kerajinan belaka—seperti yang disebut di katalog asal-muasal seni
bermateri keramik oleh para kurator dalam pandangan akademisi barat pada seni
modern. Sampai yang terakhir mana yang masuk dalam arena industri, yakni desain.
Sebuah area dimana porsi fungsional berskala besar diproduksi dan dekat dengan kebutuhan-kebutuhan
instan budaya kontemporer hari ini.
Menjadi
menarik jika kita amati mereka yang oleh para kurator didefinisikan
“menerabas”, yakni dibebaskan yang tidak lagi mementingkan materi dan teknik
baku dalam seni keramik, apalagi tidak harus diproduksi secara masal. Siapa
lagi jika bukan para seniman-seniman kontemporer. Mereka tak harus dinilai
berhasil atau tidak mengalami proses tahapan pembakaran keramik dari hasil
karyanya yang dikatakan sempurna.
Atau, bahan dasar tanah liatnya sesuai
dengan standar keramik, atau yang dimasukkan kriteria apakah mereka
memakai materi khusus di tanah air yang
bisa menghasilkan sebuah karya yang disejajarkan dengan porselain? Bahkan yang
terekstrem, mereka bisa jadi awam sama sekali soal materi keramik.
Sensasi Visual
Maka
nama seniman kita seperti Dadang Christanto, perupa yang bermukim di Australia,
cukup bagus dipresentasikan sebagai pembuka di gerbang utama galeri dengan “Java (2011)”. Kita tidak lagi disibukkan dengan teknik dan materi pada Dadang, dan
ia bukan atau masuk dalam kriteria seniman keramik, namun kekuatan konsep dan
narasi visual yang diunggulkan. Dengan jelas visualisasinya menggiring pada
aura kematian dan keterpurukan kemanusiaan dengan tumpukan kepala tengkorak
dari tanah liat. Materi di karya Dadang pun menghablur dan pudar, karena kita
melihat disana esensinya ia bercerita tentang pembantaian masal tahun 60-an di
tanah air.
Citra
yang ditampilkan Dadang segera berbalik sensasinya jika kita menemui karya Yuli
Prayitno, perupa asal Jogja. Yuli tahu jika keramik selalu identik dengan sebuah
materi yang rapuh, gampang pecah, meskipun dibakar dalam suhu yang tinggi. Maka
ia tak harus menggagas sebuah narasi yang seheroik Dadang. Ia cukup
mempermainkan kesan yang rapuh dengan kesan yang pejal, atau mungkin malahan kesan
yang lebih dari pejal, yakni karet. Maka sensasi yang kita terima adalah
gambaran kerapuhan yang molor dan mungkret. Karya yang menggambarkan seolah barang-barang
antik dan kuno, mangkok dan piring keramik Tiongkok, tiba-tiba tatkala kita sentuh
menjadi elastis dan kenyal. Sebuah karya cerdas yang terbuat dari dari karet
silikon dengan judul “Handle With Care Not Fragile (2014)”.
Gaya
mempermainkan sensasi optis dengan strategi seperti Yuli tapi di tampilkan “sesangar”
kisah Dadang adalah karya milik Shamsu Muhammad. Perupa matang yang belajar
keramik ke Jepang dari negeri Jiran, Malaysia ini membubuhkan judul “Enslavement
(2014)”. Cukup terdengar mengerikan bukan? Ia menceritakan sejarah perbudakan dengan
ikon-ikon rantai, yang benar-benar pejal, padat, karena terbuat dari besi. Dan
dikomparasi dengan bentuk-bentuk keras
lain dari logam, seperti pengait yang runcing. Semua itu kemudian dilawankan
dengan bentuk menyerupai segitiga, sepertinya bentuk lonceng yang bermateri
tanah liat nan rapuh. Hasilnya, dua materi ditumbukkan, menawarkan kekerasan yang pejal “membunuh” kerapuhan
di sisi lain.
Karya
lainnya, bagaimana jika kesan “sakralnya” materi porselain dan citra lukisan
klasik disandingkan dengan sesuatu yang sehari-hari; dan biasanya terbuat dari plastik
dalam produk-produk budaya urban.
Seperti misalnya sebuah pengharum ruangan mencipta sensasi khusus. Anda akan
menemui karya milik Wan Li Ya dari Tiongkok,
dengan “Birds Twitter and Flowers Fragrance (2014)”. Maka yang hadir
adalah impresi yang sensitif dan
adiluhung menjadi remeh dan terabaikan. Tapi karya ini tetap istimewa karena
bahannya terbuat dari porselain, yang menurut kurator pameran adalah jenis
bahan dengan nilai “tertinggi” pada seni keramik-- ala seni modern; dalam artian
bukan fine art, tapi seni
kriya yang paling bagus. Maka karya
milik Wan Li Ya dalam perspektif seni
kontemporer telah berhasil menciptakan paradoks. Menanyakan ulang, sampai
dimana sebenarnya yang dikatakan yang tinggi dan adiluhung itu pada seni
keramik itu?
Kerapuhan
dan kefanaan manusia yang kerap menjadi tema di perhelatan seni kontemporer coba disindir ulang di karya milik seniman muda
kita, yakni Dhea Widya dengan “Ephemermal Body (2014)”. Makna ashes to ashes, dust to dust dalam
filsafat tubuh yang fana dan keyakinan spiritual menyentuh kita. Dhea
membuktikan bahwa instalasinya dengan tanah liat versus air dan karya instalasi
videonya bisa membuka relung-relung jiwa tentang tubuh manusia.
Karya
yang cukup puitis Dhea Widya lagi-lagi bertolak belakang soal ke-tubuhan yang “di
molek-molekkan” milik karya seniman Kim Joon dari Korea dengan misalnya dengan “Absolut Vodka (2014)”. Ia melawankan sebaliknya karya Dhea, melebih-lebihkannya, menafsirkan
manusia dan tubuhnya dalam gelora voyeurism.
Raga adalah keindahan materialistik hari ini yang dipuja-puja menjadi “abadi”.
Dan
seperti kita tahu, budaya kontemporer
merayakan sampai titik kulminasi dimana hasrat yang tak pernah henti dipuaskan,
apalagi medium milik Kim Joon adalah digital
print. Medium yang banyak mengingatkan kita dan mudah kita temui dalam
reklame-reklame atau etalase/butik di Mal-Mal, atau sebaliknya: di
kampung-kampung kumuh di Jakarta, berselebaran di iklan-iklan plastik digital
di warung kopi.
Seharusnya
kurator menyandingkan dua karya yang mengeksplorasi ide sejenis, dan
mempertentangkannya dalam satu ruang. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Shamsu
dengan Yuli atau Dadang, sementara Dhea
dengan Kim Joon. Pastilah akan semakin menarik untuk dinikmati.
Sementara
itu, kita menoleh pada karya yang agak berbeda dengan lainnya. Yakni apa yang
dilakukan arsitek cum seniman
kontemporer Budi Pradono dengan “Clay City (2014)”. Arsitek kita jebolan Insitut Berlage Belanda
ini membangun gugusan batu bata dengan komposisi yang meruang. Mengapit dua
pintu yang menghubungkan dua ruang didalam gedung Galeri nasional. Budi memberi
semacam penanda bahwa kebudayaan tua dan peradaban-peradaban kuno di sungai
Tigris, Irak atau di Asia Selatan juga memulai dengan tradisi membangun rumah
dari materi teracota. Budi menegaskan bagaimana kita dan rumah sejatinya adalah
sebuah sejarah yang panjang sampai apa
yang disebut sekarang sebagai sebuah kota dengan rumah-rumah yang dikatakan
modern.
Dari
pameran tersebut, penulis mewawancarai salah seorang kurator yang memang
mengakui ada beberapa kelemahan-kelemahan. Misalnya tidak tampilnya karya-karya
dalam jumlah dan skala besar dan bisa diletakkan di outdoor dengan kriteria instalasi site spesific. Misalnya di halaman depan dan samping
Galeri Nasional atau bisa jadi di stasiun Gambir. Bukankah seni kontemporer salah satu
parameternya adalah kekuatan menjelajah medan di luar ruang galeri, hingga
lebih dekat dengan publik luas? Ini juga
mengenai ukuran yang menghentak, yang
membuat kesadaran akan makna “kerapuhan” materi keramik bisa diperbesar, dihiperbolikkan.
Pada
akhirnya menghelat sebuah pameran besar memang mengandung resiko-resiko.
Dibalik kerja keras dan soliditas tim, ketelitian dalam menseleksi para pekerja seni & seniman kemudian
memilih-memilahkannya, mengagurmenkannya
dengan teori- teori akademis, mengamati dengan seksama tren industri keramik
dan kelompok-kelompok serta komunitas seni keramik di Indonesia bertahun-tahun
untuk meneguhkan sebuah konsep kecenderungan baru, sampai wajib “turun-gunung”.
Di beberapa wilayah meneliti kondisi – kondisi studio yang minim atau tidak
infrastrukturnya untuk residensi seniman mancanegara adalah sebuah konsekuensi.
Maka
dari sekian hal tersebut, jika ada kelemahan tentu ada hulunya , yakni:
keterbatasan-keterbatasan sumber daya manusia dan pendanaan, serta infrastruktur
dukungan. Pembiayaan yang semaksimal mungkin memang kudu segera direalisasi
dalam masa mendatang. Kita berharap Kemeterian pendidikan dan kebudayaan atau
kreatif- pariwisata dalam kabinet Joko Wi sudah selayaknya terus memiliki
kekuatan politik untuk bersikap memihak dengan tegas dalam acara-acara yang
sejenis.
Bambang
Asrini Widjanarko
Pengamat
Seni
No comments:
Post a Comment