Sudut pandang sejarah dalam
arsitektur sangat penting untuk menemukan inovasi kekinian. Selain itu ada
upaya merefleksikan keberpihakan sesuai semangat zaman. Sementara harapan baru
tertanam di pundak Presiden Joko Wi dengan konsep Trisaktinya; yang bisa jadi memberi
nafas baru model arsitektur kekinian.
Ikhwalnya arsitektur masa awal
dibebani dua kutub saling berlawanan karena berbagai gejolak kepentingan dan
fragmen politis. Yakni Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia. Yang
pertama, bisa ditelusuri pada abad ke 18 pada kota Jakarta. Pada masa VOC menguasai
dua Kota, New York dan Jakarta, yang kemudian mencanangkannya sebagai kota
maritim yang mirip dengan kota Amsterdam.
Kita bisa mengenali dengan
kanal-kanal di wilayah Jakarta Utara dan morfologi yang khas dengan ciri
urbanisme membagi ruang publik dan privat dengan jalan-jalan pedestrian saling
terhubung. Wilayah Manhattan selama 200 tahun sama persis, bahkan tak berubah.
Pergolakan politik dan kerusuhan
merebak pada 1740, yang mengakibatkan ribuan etnis Tiong Hwa tewas karena menentang
kebijakan pengurangan populasi etnis ini yang diterapkan VOC. Dikemudian hari
hal ini menciptakan perubahan besar penataan kota Jakarta dengan dipindahnya kota
administrative Batavia ke kawasan Weltevreden dan Koeningsplein yang sekarang
kita kenal sebagai Lapangan Banteng dan Monas.
Pada momen itulah Jakarta
meninggalkan ciri kota Maritim dan berpihak pada pertumbuhan dan perkembangan kawasan
hinterland seperti Sudirman, Thamrin,
dan Casablanca sebagai pusat bisnis. Semakin kompleksnya zaman kemudian pada pertengahan
abad 20 segala hal yang berbau kolonial dihilangkan, termasuk para sebagian
besar arsitek, urbanis bahkan dosen-dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB) berwarga
negara Belanda yang dipulangkan kenegerinya.
Saat itu nasionalisme menjadi
pedoman, bandul keberpihakan mengayun membuka kutub kedua: Arsitektur Indonesia.
Presiden Soekarnolah yang merintis bangunan yang dikompetisikan, dengan rancangan
arsitektur pemenangnya diimplementasikan sebagai simbol Negara, seperti gedung
MPR-/DPR, Gedung Bank Indonesia, Masjid Istiqlal dan lain-lain.
Dari sana kita memahami arsitektur
kolonial dengan arah Maritimnya diabaikan karena Jakarta mengalami kontestasi
spasial politik tajam diantara pelaku-pelakunya yang dianggap reformis bersua
dengan revitalis, kemudian andilnya kapitalis dan respon dari enviromentalis (Kemas
Ridwan Kurniawan, Paradox 2012).
Keberpihakan Kapitalisme Liberal
Era Soeharto merubah haluan
dengan keras dan 30 tahun menjadi mapan. Keberpihakan mengental pada kapitalisme
model barat dengan momen booming minyak pada 80-an. Sepanjang jalan Sudirman dan
Thamrin hadir berderet gedung pencakar langit yang memiliki kemiripan bahasa arsitektural,
bahasa kaca, yang hampir 85 % dirancang oleh arsitek Amerika. Inilah yang
memicu hadirnya semangat baru di kalangan arsitek Muda Indonesia (AMI) yang
mencoba bertindak berseberangan.
Tesis Anthony Giddens dalam “The Consequence
of Modernity (1990)” benar-benar riil, bahwa kapitalisme modern membuka aibnya
dengan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa, penindasan oleh yang
kuat pada yang lemah, ketimpangan sosial dan pengrusakan lingkungan. Pemicunya
kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir dan pasar bebas
yang sebebas-bebasnya. Puncaknya Soeharto jatuh, eforia kebebasan ekspresi yang
terkekang membawa kegamangan, karena adanya krisis ekonomi dunia dan Indonesia
terimbas berat (1998) yang berakibat letupan emosi masal dengan aksi
penghancuran, penjarahan dan kerusuhan hebat di Jakarta.
Di era SBY keberpihakan
arsitektural penguasa belum memiliki pola tertentu yang jelas, meskipun
kompetisi bangunan publik mulai diperbanyak. Namun substansi dasar membangun rumah
susun maupun sekolah atau universitas belum diserahkan pada arsitek yang
berkonsep khusus dan jelas.
Pada lima tahun pertama gedung
pemerintah yang menonjol adalah gedung Kementerian Perdagangan yang pada saat
itu dijabat menterinya oleh Marie Elka Pangestu, dan menunjuk arsitek DCM untuk
merancang gedung tersebut dan memperoleh penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
award.
Lima tahun terakhir pemerintahan
SBY (2010-2014) isu tentang Arsitektur Nusantara dan Arsitektur Hijau semakin
menguat. Hal ini didorong oleh percepatan informasi sebagai efek globalisasi yang
mengakibatkan ketidak seimbangan alam (fenomena bencana bumi, tanah longsor, tsunami, banjir),
yang menyebabkan para arsitek mulai memperhatikan kembali aspek-aspek hijau di
setiap bangunannya. Salah satu pemicunya karena adanya sertifikasi hijau oleh
lembaga-lembaga independen seperti LEED di Amerika Serikat.
Di sisi lain Arsitektur Nusantara
banyak sekali mendapatkan perhatian. Mulai diangkat oleh almarhun DR. Galih
Pangarsa dari Universitas Brawijaya, Malang serta Josef Prijotomo, seorang
Professor dari Universitas Sepuluh November, Surabaya. Adapun arsitek praktisi
yang sangat antusias menyelamatkan kembali Arsitektur Nusantara adalah Yori
Antar (Yayasan Rumah Asuh) yang salah satu karyanya yakni pembangunan kembali situs
tradisional di Wae Rebo 7 mendapatkan UNESCO Award dan diganjar sebagai finalis
pada Aga Khan Award. Sebuah penghargaan
tertinggi arsitektur yang setara dengan penghargaan hadiah Nobel.
Keberpihakan Pada Trisakti
Presiden Indonesia yang ke tujuh
Joko Widodo atau lebih populer dengan sebutan Jokowi yang baru dilantik
tentunya memberikan nafas dan harapan baru bagi arsitek maupun masyarakat
Indonesia pada umumnya.
Jokowi dengan kabinet Kerja di
jajaran kementeriannya acapkali mendengungkan amanat proklamator Republik
Indonesia Soekarno dengan Trisaktinya, yakni kedaulatan di bidang politik, kemandirian
ekonomi dan kepribadian budaya untuk bangsa ini. Mudah-mudahan ini
mengisyaratkan keberpihakan yang sangat jelas dan lurus arah dan pola politik
arsitektural kita hari ini.
Semangat Trisakti kelihatannya
menyebadan dengan lakon Jokowi yang tumbuh besar sebagai masyarakat biasa dan tinggal
di pinggir kali di Surakarta, dan pernah mengalami penggusuran. Tentunya
keberpihakan dan empati yang sangat besar pada masyarakat marginal yang
terpinggirkan ada padanya. Terbukti
ketika menjabat sebagai gubernur DKI selama 1,5 tahun telah membenahi banyak
hal dengan program-program yang inovatif yang dilaksanakan dengan sangat cepat.
Baik itu rumah susun (kampung deret) atau pembenahan Pasar Tanah Abang.
Sebagai presiden yang gemar
blusukan dan mendengar detak suara rakyat, tentunya dia diharapkan memiliki kebijakan
setingkat nasional misalnya rumah susun bagi masyarakat perkotaan yang tidak
mampu, selayaknya wajib dirancang oleh arsitek Indonesia yang terbiasa mendesain
hotel berbintang dan dikompetisikan secara terus menerus.
Sehingga menghasilkan social housing/rumah
susun yang lebih manusiawi pada masyarakat kecil dan tidak hanya asal kotak.
Namun memiliki areal-areal publik yang lebih nyaman, adanya ruang bertanam sayuran
dan taman mungil vertikal yang tersedia. Semua inovasi akan hadir sejalan
dengan keterbukaan dalam perancangan desain arsitekturalnya dan menata kota
dengan aspek memperhatikan lingkungan.
Kita berharap semua cetak biru pengembangan
kota dirancang oleh ahlinya yang berkompeten dibidangnya dan konsep Trisakti
benar-benar bisa terwujud di negara ini dan memberi inspirasi bagi arsitektur
kekinian.
Budi Pradono