pubished by Laras magazine June 2009
Dapatkah arsitektur memberikan kontribusi yang signifikan pada kota? Yang didasarkan atas toleransi maupun negosiasi? Dengan melakukan study tentang beberapa fenomena yang terjadi dalam budaya meng-kota kita, seorang arsitek dituntut untuk mengkonstruksi pemikiran, merangkum beberapa disiplin (psikolog, sosiolog, antropolog, aktivis sosial dst.) untuk memberikan masukan yang komprehensif bagi perbaikan masa depan kota kita. Terlebih lagi di saat kondisi perekonomian dunia yang memburuk, ditengah keadaan politik yang kurang menentu, pada saat yang sama dunia dihadapkan pada isu –isu lingkungan terkini; tentang pemanasan global, ekologi yang terpuruk, densitas urbanitas dan kemiskinan, kita harus bersiap diri menghadapi katastropi di depan mata; banyak arsitek yang berperilaku oportunis yang mengabaikan semua hal di atas yang telah mengubah peran arsitek sebagai servis provider saja, penyedia layanan jasa perancangan semata. Saya sangat tertarik pada fenomena-fenomena baru dalam kehidupan berkota kita karena kemajuan teknologi komunikasi, dan sekaligus mengalami sendiri gelombang globalisasi 3.0
Mampukah arsitek berperan lebih besar dalam agenda-agenda baru perubahan yang melebihi domain arsitektur? Yang memiliki visi jauh ke depan? Di dunia tempat kita berpijak hanya membutuhkan telepon genggam berkamera untuk menunjukan kondisi di sekitar kita, seorang individu telah berubah peran menjadi kontributor dan kreator. YouTube adalah contoh kombinasi internet-TV yang memudahkan kita untuk mempublikasikan, memutar, dan berbagi klip video di Web. You Tube menyediakan beragam film independen, video amatir, maupun bajakan, lingkungan inilah yang menjadikan ladang subur bagi lahirnya Net Gener; generasi yang sangat mengagungkan keterhubungan, networks yang melewati batas-batas Negara, geografis maupun bahasa. Dengan begitu seluruh fenomena perkembangan urban, perubahan iklim, konstelasi politik, maupun penemuan-penemuan baru dapat didokumentasikan dianalisa dan dijadikan dasar-dasar bagi penelitian lanjutan. Seperti dunia yang berputar lebih cepat, kita berkomunikasi makin mudah dan makin cepat dan makin bergairah lagi, sebentar lagi 4G hadir di depan kita.
Net Gener telah merubah cara kita berpikir maupun berinteraksi, dari sisi studio kerja, kita telah membebaskan seluruh tim untuk memanfaatkan teknologi komunikasi secara bebas bertanggungjawab menciptakan relasi yang non-hirarki. Hal ini telah mendorong kreatifitas ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih cepat dari sepuluh tahun lalu ketika wabah internet sedang dimulai. Dengan mendudukan seluruh tim selaku kolaborator yang handal diharapkan mampu mengelola jutaan informasi yang ada. Facebook telah melucuti pakaian kita, meskipun kita belum menjadi member-pun foto kita bisa dengan mudah terdistribusikan, “Welcome to the Net Generation!” Komunikasi lewat skype, dan keterhubungan dengan push mail lewat blackberry telah merubah pola dalam manajemen desain dan eksekusi secara lintas benua maupun lintas negara. Begitu juga definisi tentang ruang semakin hari mengalami perubahan. Akan tetapi keterhubungan yang memperpendek jarak New York-Jakarta maupun Tokyo-Jogja, dan seterusnya harus juga diantisipasi sisi buruknya terutama distribusi image yang mudah, copy paste visual, kita perlu menghargai keunikan individu, kearifan lokal, perhatian pada spirit lokal, serta memahami pluralitas baru, seperti yang sudah saya dengungkan berulangkali tentang fenomena GLOCAL, global-lokal. Bagi saya lokalitas adalah energi paling krusial dalam tarik menarik kepentingan globalisasi dan penyeragaman cita rasa dunia.
Dengan lautan data disekitar kita, ide kita jadi makin banyak bahkan kadang-kadang kitapun bisa memanfaatkan data menjadi ide bentuk / data driven form. Dari sisi teknologi material yang juga berkembang pesat telah banyak menjerumuskan arsitek menjadi sekedar pengabdi pada arsitektur generik tanpa jiwa. Hingga disekitar kita tumbuh ribuan ruko tanpa arsitektur, tanpa jiwa.
Mungkin saya harus percaya pada Rem Koolhaas yang pernah menyebutkan bahwa “Architecture is hazardous mixture of omnipotence & impotence” Mengapa? Karena secara intensif turut serta dalam membentuk dunia, tapi pemikirannya sangat bergantung kepada provokasi klien-klien lain, individu-individu maupun institusi-institusi yang sarat kepentingan kepentingan tertentu baik itu politis maupun kapitalistik, jadi arsitektur adalah paduan potensi besar sekaligus impoten karena tidak semua gagasannya dapat dipenuhi seratus persen, negosiasi negosiasi inilah harus dicermati sebagai sebuah dinamika.
Setelah sepuluh tahun berkiprah di dunia praktek arsitektur (1995-2005) ditandai dengan pameran tunggal ‘Secondary skin’, saya mulai memasuki fase 10 tahun pencarian yang kedua 2005-2015, dimana fase berbagi bagi dunia dilakukan dengan berbagai public lecture dan pameran internasional, workshop-workshop, untuk mengemukakan fenomena-fenomena kehidupan ber-kota, sekaligus mendefinisikan terus menerus institusi budipradono architects [BPA]. Saat ini BPA telah bermetamorfosa menjadi institusi riset arsitektur maupun desain urban, dan telah meningkatkan spektrum pencarian arsitekturnya ke dalam domain yang lebih besar baik dari sisi skala maupun jarak. Program-program baru dipertanyakan kembali, material-material baru diujicoba lagi, tipologi-tipologi fungsional yang sudah umum kembali digugat demi menemukan rancangan yang lebih sustainable dan sekaligus menjawab tantangan Net Gen yang membutuhkan arsitektur yang lebih khusus lagi, lifestyle yang khas generasi ini. Metode –metode perancangan arsitektur dicoba terus menerus seperti strategi digraming dan programming, braids, papyroflexi, origami, dll dengan serangkaian riset yang terukur. Kita tidak pernah lelah maju berperang, aktif mengikuti kompetisi internasional sebagai alat uji. Seberapa hebatkah kosep berpikir kita? BPA menjadi seperti laboratorium, tempat dimana oase berpikir dibebaskan, dipertanyakan dan dilahirkan kembali dalam konsep-konsep kontemporer yang segar. BPA juga sudah melewati batas geografis dalam menjalin kolaborasi yang konstruktif baik di Italy, Jerman, Swiss, Jepang, Hongkong, Singapura, dan Amerika.
BPA anti kemapanan konsep dan ingin menjadikan experimen arsitektur yang mungkin useless, maupun formless sebagai salah satu media pembebasan. Experimen ini kelebihannya selalu open ended, dan percaya pada apa yang diungkapkan Worlf Prix bahwa experimentasi dalam arsitektur akan membuka pikiran, membuka mata & hati. Sekaligus menghidupkan kembali tradisi yang sudah lama yang tidak bertujuan untuk memproduksi ‘blue print’ untuk bangunan. Yang dapat dibangun begitu saja. Ada sejarah besar tentang pekerjaan spekulatif, desain yang visioner, utopian major yang dystopian. Konstruksi-konstruksi fragmentasi, direct action & produksi kerja seperti instalasi yang dimensi arsistiknya dari sebuah karya seni tidak bergantung pada bentuk fisiknya saja tapi eksis jika conscionsness dari seorang yang mengalaminya. Proyek-proyek experimen ini banyak berbentuk instalasi sperti Engklek pavilion di Inggris, Frangipani pavilion di Bergen, Norwegia, maupun instalasi bambu runcing di Semanggi expo, Jakarta. Sementara itu explorasi material telah dilakukan mulai dari tanah liat, beton, kaca, resin, acrylic, bambu, kayu, GRC, kaca, rumput, pasir, plastik, dan masih banyak lagi. Dalam kerangka evolusi kota interpretasi arsitektur dan urbanisme kontemporer seharusnya bisa menjadi DEVICE (Alat pemberdayaan) bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsekuensi dasar arsitektur sebagai alat pemberdayaan berarti juga produk arsitekturnya dapat dipahami sebagai “instrumen” dari hasil observasinya, sebagai penyambung lidah transaksi urbanitas, sebagai “fasilitator” pembangunan dengan agenda agenda yang lebih besar lagi tidak sebatas Indonesia saja, atau kota-kota kita, tapi juga kota-kota lain di dunia ini dimana batas-batas suatu Negara semakin kabur. Mari kita bangun kota dunia dengan kreatifitas, sensitifitas dan kolaborasi masal.
Budi Pradono