Tuesday, January 18, 2011

ARSITEKTUR Budi Pradono, oleh Rifky Effendy


Noble life demands a noble architecture for noble uses of noble men. Lack of culture means what it has always meant: ignoble civilization and therefore imminent downfall.

Frank Lloyd Wright (1869 – 1959)

Architecture is the art of how to waste space.

Philip Johnson (1906 - 2005)

Apa sebenarnya makna suatu aritektur bagi kehidupan manusia kontemporer ? Apakah arsitektur itu melulu persoalan estetika ruang atau lebih jauh, merupakan organisme yang makin lama makin membesar, dimana ada banyak aktifitas manusia didalamnya; sosial, budaya dan ekonomi ? Ataukah arsitektur juga menciptakan sebuah 'rupture', sebagai untaian ruang yang terputus dengan lokal-lokal budaya, membentuk pagar-pagar sosial yang memisahkan, atau munculnya sekat-sekat ekonomi, dimana berbagai kehidupan manusia digolongkan, dikategorikan bahkan dengan diputuskan jauh dari alam ? Bisakah arsitektur memanusiakan manusianya?

Contoh yang bisa langsung kita rasakan pada makna rupture dalam ruang atau arsitektur adalah ruangan yang kita hidupi, dimana manusia dengan “tradisi modern” beraktifitas secara individu atau bersama anggota keluarga dalam ruang privat , kemudian berpapasan dengan tetangga, tukang sayur dan pedagang makanan keliling. Lalu selama hidup, kita hanya mengalami rutinitas dan ritual itu terus – menerus, karena kita yang hidup dikota besar dikelilingi di blok-blok perkantoran, mal-mal, apartemen, apartemen – mall, mengarungi kepadatan lalu-lintas jalan raya, daerah atau distrik perdagangan dan bisnis, perumahan mewah, menengah dan kumuh, perumahan pejabat, daerah ekspat, tempat-tempat 'cozy', dan seterusnya. Anda yang beruntung bisa menikmati hijaunya kebun teh saat bangun tidur atau birunya pantai, sesekali saja.

Tentu anda bisa saja menciptakan hutan sendiri dengan menyewa seorang arsitek dan membayar luas tanah cukup mahal, tapi anda tak bisa benar-benar lolos dari kungkungan ruang-ruang kota. Disinilah rupture bisa terjadi, karena makna arsitektur, selain secara sederhana hanya dirasakan individual tapi juga menjadi organisasi dengan ruang – ruang yang massal. Sehingga memang tak mungkin bisa dikatakan seorang arsitek sukses hanya karena ia hanya sebagai perancang suatu bangunan yang bagus, mewah dan mahal , trendy, menjadi terkenal atau banyak menerima pesanan saja. Tapi suatu konsep menuju kehidupan dimasa depan .

Apakah hal seperti itu bisa disebut utopia? Apalagi ketika dihadapkan pada kebijakan-kebijakan pemerintah lokal maupun pemahaman dan selera para pemilik modal, seperti yang dihadapi praktisi arsitektur di Indonesia. Tapi menjadi utopis saja, tampaknya perlu sebuah keberanian imajinasi, selalu kritis, 'kegilaan', bahkan seringkali penuh pengorbanan waktu bergerilya dan menghabiskan materi pula.

***

Arsitek seperti Budi Pradono buat saya tampaknya seorang sosok arsitek yang cenderung mengarah nyaris seperti utopis, minimal untuk ukuran arsitek di Indonesia. Walaupun begitu beberapa karyanya bisa direalisasikan, walaupun dalam bentukan rumah tinggal dan semi ruang publik. Pradono dengan tim Budi Pradono Arsitektur (BPA) beberapa kali mengikuti berbagai kompetisi arsitektur internasional. Ketika bertemu di studionya, Pradono tengah bersiap untuk merealisasi satu proyek ruang publik di Taiwan. Karya-karyanya banyak mempertimbangkan aspek personal, lingkungan dan pengolahan materi lokal , selain mengembangkan gaya arsitektur mutakhir. Salah satu hasil rancangannya adalah rumah tinggal Irwan Ahmett, seorang perancang grafis di daerah Pasar Minggu, Jakarta. Pradono menggunakan materi bambu untuk membuat artistik perwajahan bagian depan rumah, selain berfungsi sebagai sirkulasi udara . Hal lainnya, rumah tersebut ternyata dibangun dengan waktu cukup singkat dan biaya yang lebih rendah.

Kesibukan lain dari sosok Pradono adalah melakukan perjalanan-perjalanan internasional, apakah untuk melakukan presentasi – presentasi hasil rancangannya, loka-karya, maupun melakukan pengamatan-pengamatan budaya, mulai dari Italia, Jerman, Swiss, Jepang, Hongkong, Singapura hingga Amerika. Mungkin saya bisa membandingkan kesibukannya dengan sosok seniman Heri Dono, sehingga tak berlebihan jika Pradono salah satu arsitek muda yang sarat pengalaman internasional.

Hal yang penting dan jarang dilakukan oleh arsitek disini, adalah Pradono secara berkala melakukan presentasi pada publik dengan bentuk pameran yang meliputi konsep-konsep dan rancangan – rancangannya. Hal ini penting untuk membuka pemikiran kritis melalui interaksi dengan para arsitek lain, mahasiswa maupun calon stake-holder. Berkomunikasi dan membuka peluang membuka bagi pemikiran-pemikiran baru dan berwawasan luas, menjadikan seorang arsitek dengan kesadaran terhadap berbagai aspeknya. Tak heran , hasil rancangannya masuk dalam berbagai buku dan majalah, baik nasional maupun secara internasional.

Rancangan-rancangan Budi Pradono, secara kritis mempertimbangkan berbagai hal dalam berarsitektur, selain nilai individu dan sosial – budaya, nilai artistik dan estetik , juga dengan aspek ekonomi dan lingkungan. Pradono sangat menghargai dan terlibat proses dalam perancangannya, menghargai waktu bersama team, untuk bereksperimentasi dengan hal-hal yang baru berbagai kemungkinan pengembangan. Ia pernah menuliskan: Program-program dipertanyakan kembali, material baru diuji coba kembali, tipologi-tipologi fungsional yang sudah umum digugat demi menemukan rancangan yang lebih sustainable (2009:18).

Proses ini membawa kesadaran kritis terhadap perancangan dan mengujinya kedalam rangkaian kompetisi internasional. Untuk merealisasikan hal-hal baru dalam perancangan tentu butuh negosiasi dengan banyak pihak, karena berbagai kepentingan politik dan kapital dalam suatu perancangan memang mutlak dan lazim. Baginya negosiasi-negosiasi ini bisa dicermati sebagai sebuah dinamika.

Seperti yang diungkapkannya dalam pengantar konsepnya; “ Menyikapi peraturan, menyiasati program fungsionalnya, explorasi material, kombinasi maupun komposisi berbagai material semuanya mengarahkan pada sesuatu yang akan dicapai kemudian, baik kualitas ruang fisik nya secara implisit adalah tidak saja berupa implementasi konsep dari arsitek tetapi dalam perjalanan prosesnya selalu merupakan usaha tarik - menarik maupun negoisasi praktis dengan end-user yang tentu saja memiliki kriteria-kriteria yang spesifik pada setiap ruang. Spesifikasi pragmatis dari end-user tetap harus diterjemahkan secara estetik demi menghasikan satu komposisi aransemen yang indah, unik dan personal.

***

Sebuah bangunan atau gedung hasil rancangan seorang arsitek, bukan hanya suatu rancangan yang didasari oleh trend atau dorongan ekonomi, tapi dari pertimbangan imajinasi dan pengembangan artistik yang diambil dari berbagai acuan lokal atau global dengan juga memasukan keberagaman unsur sebagai pertimbangan nilai manusia dan budayanya, sebagai bentukan eklektik dan hibrid. Persoalan utama lingkungan maupun sosial- budaya kontemporer saat ini, sedikit banyak dibentuk oleh dunia arsitektur dalam suatu konteks kebijakan dan paradigma masyarakat umum. Maka dunia arsitektur ditantang untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan dewasa terhadap sosial-budaya dan lingkungannya. Apakah untuk rancangan rumah tinggal, gedung perkantoran, apartemen, mall dan lainnya. Perlu sebuah keberanian intelektual untuk bernegosiasi dengan berbagai pihak untuk mendorong perbaikan lingkungan dan memikirkan kehidupan masa depan. Ditengah tak – adanya regulasi yang kuat dan aturan-aturan yang jelas berjangka-panjang, terutama berhubungan pengambangan perkotaan di Indonesia, yang banyak kekayaan dan keragaman budayanya, selain potensi pengembangan bahan baku dasar dan teknologi.

Maka ketika kita mencermati karya-karya Budi Pradono, mungkin kita akan banyak mendapat suatu harapan berarsitektur yang lebih punya visi masa depan. Toh, perubahan – perubahan yang kita impikan justru hanya sangat mungkin dilakukan dengan perbaikan dari tingkat mikro atau bagaimana kita sebagai individu menyikapinya baik bagi sosial dan alam sebagai jalan hidup. Maka bila demikian tak ada istilah utopia.

(Rifky Effendy, Kurator Seni Rupa )

No comments:

Post a Comment