Thursday, January 18, 2018

Perkembangan Arsitektur Indonesia dalam pengamatan arsitek Indonesia Memahami sejarah demi melahirkan kekinian Oleh: Budi Pradono

Perkembangan Arsitektur Indonesia dalam pengamatan arsitek Indonesia
Memahami sejarah demi melahirkan kekinian[1]
Oleh: Budi Pradono[2]




Pengantar
Untuk memahami perkembangan arsitektur Indonesia sebenarnya harus mendudukan arsitektur Indonesia di dalam konteks sejarah. Pengetahuan akan sejarah, baik sejarah arsitektur Indonesia maupun sejarah arsitektur barat akan memposisioning-kan para pelaku praktisi arsitektur di dalamnya. Hal ini penting disadari agar semangat untuk menghadirkan inovasi, semangat untuk menghadirkan kebaharuan atau kekinian akan terus menyala yang selalu berkolerasi dengan lifestyle, kehidupan masyarakat middle class di kota-kota besar di Indonesia maupun juga dengan kemajuan komunikasi dan tehnologi. Hal ini dengan jelas telah merubah cara berpikir, strategi inovasi, maupun dalam penggunaan material baru yang semakin hari semakin melewati batas-batas geografis suatu negara. Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu; Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia, Arsitektur Paska reformasi 1998, Arsitektur Nusantara dan arsitektur Hijau. Arsitektur dalam praktek di studio BPA, dan yang terakhir adalah Arsitektur masa depan era Jokowi.

1. Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia
Arsitektur Kolonial saya definisikan sebagai arsitektur jaman penjajahan Belanda. Setelah diamati secara seksama Kota Jakarta pada abad ke 18 ternyata memiliki kesamaan sejarah dengan kota New York. Pada masa itu Belanda sudah mencanangkan Jakarta sebagai kota maritim yang tidak berbeda dengan kota Amsterdam di Belanda maupun Manhattan di New York, Amerika Serikat. Pada masa pra kolonial pada abad 12 hingga abad 16 sejak Kerajaan Pajajaran yang diberi nama Sunda Kelapa pada pantai utara Jawa, yang terletak di hilir Kali Ciliwung. Namun kerajaan Padjajaran ini tidak dapat bertahan lama ketika pada tahun 1527 Sultan Hassanudin menyerang dan menguasai Banten dan Sunda Kelapa. Sejak tanggal 22 Juni 1927, Fatahillah merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (bahasa sanksekerta berarti Kota yang Jaya).  Disebutkan dalam buku Dumarcay pada abad ke 17, Jayakarta memiliki populasi kira kira 10.000 orang.
Kita bisa melihat  bahwa orang orang Belanda  (VOC) mencoba mengimplementasikan grid kota Batavia berukuran 2,250 m panjang dan 1500m lebarnya, berdasarkan rancangan Simon Stevin tentang ‘Ideal city plan’ yang terinspirasi dari buku Saint Agustine diimplementasikan pada tahun 1650 berupa Batavia city plan. Dengan kanal-kanal yang mirip kota Amsterdam.[1]







Gambar1. Batavia Belanda tahun 1981, dibangun di daerah yang sekarang disebut Jakarta Utara.
Sumber ; http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company . Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.20 WIB

Pada tahun 1740, ketika VOC, Belanda berusaha mengurangi populasi masyarakat China keturunan yang tinggal di Jayakarta, dengan kebijakan untuk memulangkan para pelaku kriminal ke negaranya sekaligus melarang kedatangan orang-orang China baru, hal ini menyulut kemarahan masyarakat keturunan China di Jayakarta, perlawanan ini mengakibatkan terbunuhnya hampir ribuan orang-orang China yang tinggal di Batavia. Pada tahun 1799 masyarakat China dapat kembali tinggal secara aman di daerah Wetevreden area di luar Benteng kota Batavia.Gambar 2. Kota Amsterdam 1650 – 1660.

Sumber ; http://www.nc-chap.org/castello/index.php . Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.25 WIB

Dari sejarah di atas dapat kita simpulkan bahwa situasi politik dan kerusuhan pada abad 17 tersebut mempengaruhi perubahan penataan kota sekaligus mempengaruhi model permukiman setempat. Pemindahan kota administrative Batavia ke kawasan Weltevreden dan Koeningsplein sekarang menjadi Lapangan Banteng dan Monas, sebenarnya di titik itu Jakarta mulai meninggalkan ciri kota Maritim sehingga dalam perkembangannya kawasan hinterland seperti, Sudirman, Thamrin, dan Casablanca berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, [1] sementara pusat kota yang lama jadi terabaikan.

Jika kita pelajari dari sejarah situasi di Batavia masa itu juga terjadi di New York Sungai Hudson di New York ditemukan oleh Henry Hudson pada tahun 1609. Pada tahun 1623 ada sekitar 30 keluarga yang berdatangan ke kota Manhattan di antara mereka ada seorang insinyur Belanda bernama Cryn Fredericksz, yang membagi tanah di kota Manhattan menjadi beberapa parcel.[2]

Kota Manhattan dibagi dalam ‘grid’ kota, penduduk lokal lebih suka menggunakan ukuran ‘block’ seperti misalnya dua blok atau lima blok dari satu tempat. Biasanya di kota New York, 1 miles sama dengan 20 blok. ‘A few  block’ berarti jarak yang dekat dan bisa jalan kaki saja. Sistem grid di Manhattan telah dilaksanakan pada tahun 1811 melalui satu undang-undang di Dewan Legislatif New York yang dikenal sebagai Commissioner’s Plan of 1811. Grid kota Manhattan tersebut merupakan cikal bakal urbanisme dimana kepemilikan dalam satu blok terdiri dari kepemilikan publik, jalan dan serta kepemilikan


[1] Kemas Ridwan Kurniawan, PARADOX, Sebuah Naratif Tentang Arsitektur dan Urbanisme di Indonesia Pasca Reformasi, pidato pengukuhan guru besar tetap bidang arsitektur UI; Kurniawan mengungkapkan bahwa kawasan kota lama kini adalah representasi dari pertarungan ruang (‘spatial contestation’)antara para reformist dan revitalist antara formalist, capitalist, dan environmentalist.
[2] Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan, New York, Monacelli Press, 1994; Rem Koolhaas, et al, S,M,L,XL, originally published by Oxford University Press 1978, New York: Monacelli Press 1995), dalam buku tersebut Rem Koolhaas dengan rinci menceritakan sejarah pembagian blok sebagai cikal bakal terbentuknya grid di kota Manhattan.





[1] Johanes Widodo; Jakarta: a Resilient Asian Cosmopolitan City, National University of Singapore, sumber : https://www.academia.edu/8451926/JAKARTA_a_Resilient_Asian_Cosmopolitan_City diakses pada tanggal 21 September 2014



[1] Disampaikan dalam Seminar arsitektur pada peringatan 50 tahun Universitas Pancasila di Jakarta Design Centre (JDC) Slipi, Jakarta, 27 Oktober 2014
[2] Budi Pradono (1971), anggota IAI professional, principal architect pada Budi Pradono Architects, firma arsitektur berbasis riset, direktur JADUL (Jakarta Digital Urban Lab), saat ini ditunjuk sebagai curator untuk pameran Austellung 70’s bad di Sciltach, Jerman 2014-2015, ditunjuk sebagai advisor pada pengembangan industry creative bidang desain dan arsitektur antara Indonesia dan UK.

No comments:

Post a Comment