Perkembangan
Arsitektur Indonesia dalam pengamatan arsitek Indonesia
Memahami sejarah demi melahirkan kekinian[1]
Oleh: Budi Pradono[2]
Pengantar
Untuk memahami perkembangan arsitektur
Indonesia sebenarnya harus mendudukan arsitektur Indonesia di dalam konteks
sejarah. Pengetahuan akan sejarah, baik sejarah arsitektur Indonesia maupun
sejarah arsitektur barat akan memposisioning-kan para pelaku praktisi
arsitektur di dalamnya. Hal ini penting disadari agar semangat untuk
menghadirkan inovasi, semangat untuk menghadirkan kebaharuan atau kekinian akan
terus menyala yang selalu berkolerasi dengan lifestyle, kehidupan masyarakat middle
class di kota-kota besar di Indonesia maupun juga dengan kemajuan
komunikasi dan tehnologi. Hal ini dengan jelas telah merubah cara berpikir,
strategi inovasi, maupun dalam penggunaan material baru yang semakin hari
semakin melewati batas-batas geografis suatu negara. Tulisan ini dibagi dalam
beberapa bagian yaitu; Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia, Arsitektur
Paska reformasi 1998, Arsitektur Nusantara dan arsitektur Hijau. Arsitektur
dalam praktek di studio BPA, dan yang terakhir adalah Arsitektur masa depan era
Jokowi.
1. Arsitektur Kolonial
dan Arsitektur Indonesia
Arsitektur Kolonial saya definisikan
sebagai arsitektur jaman penjajahan Belanda. Setelah diamati secara seksama
Kota Jakarta pada abad ke 18 ternyata memiliki kesamaan sejarah dengan kota New
York. Pada masa itu Belanda sudah mencanangkan Jakarta sebagai kota maritim
yang tidak berbeda dengan kota Amsterdam di Belanda maupun Manhattan di New
York, Amerika Serikat. Pada masa pra kolonial pada abad 12 hingga abad 16 sejak
Kerajaan Pajajaran yang diberi nama Sunda Kelapa pada pantai utara Jawa, yang
terletak di hilir Kali Ciliwung. Namun kerajaan Padjajaran ini tidak dapat
bertahan lama ketika pada tahun 1527 Sultan Hassanudin menyerang dan menguasai
Banten dan Sunda Kelapa. Sejak tanggal 22 Juni 1927, Fatahillah merubah nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (bahasa sanksekerta berarti Kota yang Jaya). Disebutkan dalam buku Dumarcay pada abad ke
17, Jayakarta memiliki populasi kira kira 10.000 orang.
Kita bisa melihat bahwa orang orang Belanda (VOC) mencoba mengimplementasikan grid kota
Batavia berukuran 2,250 m panjang dan 1500m lebarnya, berdasarkan rancangan Simon
Stevin tentang ‘Ideal city plan’ yang
terinspirasi dari buku Saint Agustine diimplementasikan pada tahun 1650 berupa Batavia city plan. Dengan kanal-kanal
yang mirip kota Amsterdam.[1]
Gambar1. Batavia Belanda tahun 1981, dibangun di daerah
yang sekarang disebut Jakarta Utara.
Sumber ; http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company .
Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.20 WIB
Pada tahun 1740, ketika VOC, Belanda berusaha
mengurangi populasi masyarakat China keturunan yang tinggal di Jayakarta,
dengan kebijakan untuk memulangkan para pelaku kriminal ke negaranya sekaligus
melarang kedatangan orang-orang China baru, hal ini menyulut kemarahan masyarakat keturunan China di Jayakarta, perlawanan ini
mengakibatkan terbunuhnya hampir ribuan orang-orang China yang tinggal di
Batavia. Pada tahun 1799 masyarakat China dapat kembali tinggal secara aman di daerah
Wetevreden area di luar Benteng kota Batavia.Gambar 2. Kota
Amsterdam 1650 – 1660.
Sumber ; http://www.nc-chap.org/castello/index.php . Diakses
tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.25 WIB
Dari sejarah di atas dapat kita simpulkan
bahwa situasi politik dan kerusuhan pada abad 17 tersebut mempengaruhi
perubahan penataan kota sekaligus mempengaruhi model permukiman setempat.
Pemindahan kota administrative Batavia ke kawasan Weltevreden dan Koeningsplein
sekarang menjadi Lapangan Banteng dan Monas, sebenarnya di titik itu Jakarta
mulai meninggalkan ciri kota Maritim sehingga dalam perkembangannya kawasan
hinterland seperti, Sudirman, Thamrin, dan Casablanca berkembang pesat sebagai
pusat perdagangan, [1]
sementara pusat kota yang lama jadi terabaikan.
Jika
kita pelajari dari sejarah situasi di Batavia masa itu juga terjadi di New York
Sungai Hudson di New York ditemukan oleh Henry Hudson pada tahun 1609. Pada
tahun 1623 ada sekitar 30 keluarga yang berdatangan ke kota Manhattan di antara
mereka ada seorang insinyur Belanda bernama Cryn Fredericksz, yang membagi
tanah di kota Manhattan menjadi beberapa parcel.[2]
Kota
Manhattan dibagi dalam ‘grid’ kota, penduduk lokal lebih suka menggunakan
ukuran ‘block’ seperti misalnya dua
blok atau lima blok dari satu tempat. Biasanya di kota New York, 1 miles sama dengan
20 blok. ‘A few block’ berarti
jarak yang dekat dan bisa jalan kaki saja. Sistem grid di Manhattan telah
dilaksanakan pada tahun 1811 melalui satu undang-undang di Dewan Legislatif New
York yang dikenal sebagai Commissioner’s
Plan of 1811. Grid kota Manhattan tersebut merupakan cikal bakal urbanisme
dimana kepemilikan dalam satu blok terdiri dari kepemilikan publik, jalan dan
serta kepemilikan
[1] Kemas Ridwan Kurniawan, PARADOX, Sebuah Naratif
Tentang Arsitektur dan Urbanisme di Indonesia Pasca Reformasi, pidato
pengukuhan guru besar tetap bidang arsitektur UI; Kurniawan mengungkapkan bahwa
kawasan kota lama kini adalah representasi dari pertarungan ruang (‘spatial
contestation’)antara para reformist dan revitalist antara formalist,
capitalist, dan environmentalist.
[2] Delirious New York: A Retroactive Manifesto for
Manhattan, New York, Monacelli Press, 1994; Rem Koolhaas, et al, S,M,L,XL,
originally published by Oxford University Press 1978, New York: Monacelli Press
1995), dalam buku tersebut Rem Koolhaas dengan rinci menceritakan sejarah
pembagian blok sebagai cikal bakal terbentuknya grid di kota Manhattan.
[1] Johanes Widodo; Jakarta: a Resilient Asian
Cosmopolitan City, National University of Singapore, sumber : https://www.academia.edu/8451926/JAKARTA_a_Resilient_Asian_Cosmopolitan_City diakses pada tanggal 21 September 2014
[1] Disampaikan dalam Seminar arsitektur pada peringatan
50 tahun Universitas Pancasila di Jakarta Design Centre (JDC) Slipi, Jakarta,
27 Oktober 2014
[2] Budi Pradono (1971), anggota IAI professional,
principal architect pada Budi Pradono Architects, firma arsitektur berbasis
riset, direktur JADUL (Jakarta Digital Urban Lab), saat ini ditunjuk sebagai
curator untuk pameran Austellung 70’s bad di Sciltach, Jerman 2014-2015,
ditunjuk sebagai advisor pada pengembangan industry creative bidang desain dan
arsitektur antara Indonesia dan UK.
No comments:
Post a Comment