Wednesday, October 21, 2015

Kekinian dan Masa Depan dalam praktek Arsitektur oleh Budi Pradono,

Kekinian dan Masa Depan dalam praktek Arsitektur[1]
disampaikan dalam seminar Forsight, di UAJY, 19 Mei 2015
Budi Pradono[2]


Latar Belakang

Dalam kesempatan seminar ini yang diselenggarakan oleh Jurusan arsitektur Universitas Atma jaya Yogjakarta, saya diberi tema yang cukup sulit untuk diterjemahkan, temanya “forshight” dalam tema itu mengacu pada pandangan pandangan arsitek pada masa depan, dimana pandangan tersebut harus mengacu pada masa lalu dan masa kini.
Menjadi praktisi arsitek adalah sebuah pilihan. Menurut survey yang dilakukan baik itu di kampus-kampus terkemuka di seluruh dunia, maupun sekolah arsitektur yang ada rata-rata hanya dua persen saja dalam satu angkatan yang benar-benar menjadi arsitek atau arsitekpreneur, yang membuka kantor arsitek sendiri maupun bersama-sama dengan koleganya. Sisanya menjadi banker, pengusaha yang masih berhubungan dengan dunia arsitektur misalnya membuka kantor developer, menjadi kontraktor, menjadi animator, maupun menjadi supplier bahan bangunan. Patut diakui profesi arsitek merupakan profesi yang unik, keren tetapi melelahkan, kita harus mencurahkan segala energy dan pikiran kita pada pekerjaan ini, baik dilakukan secara normal seperti orang kantoran kebanyakan atau super serius yang mengharuskan kita lembur demi mencapai deadline waktu. Sejak kita kuliah adalah saat dimana seleksi alam itu dimulai. Setiap mahasiswa dituntut untuk memiliki passion yang kuat, semangat yang membara dan juga cinta… sehingga berhari-hari lembur pun dilakukan dengan gembira. Kembali kepada ema yang ditawarkan jadi kalau saya harus merunut masa lalu masa kini dan masa depan tentu saja ini menjadi autobiografi yang menarik, menjadi referensi bagi para mahasiswa.



Pemahaman Sejarah

Penting sekali bagi setiap lulusan arsitektur mempelajari sejarah, mata kuliah ini yang diberikan hanya 2 sks nyatanya sangat berguna, sebagai alat untuk mendefinisikan dirinya sendiri ketika akan lulus. Kita bias melihat bahwa semua arsitek besar masa kini merupakan arsitek yang berhasil menemukan keunikan / keunggulannya dari yang lain. Keunggulan itu diperoleh karena pemahaman sejarah, karena latihan ( Zaha hadid perlu 20 tahun untuk kalah dalam mengikuti berbagai kompetisi didunia, tetapi tetap konsisten dengan metode nya dengan strategi perancangannya baginya kompetisi adalah exersize yang tiada henti. Dari studio nya yang kecil di London, sekarang dia memiliki 400 karyawan yang mengerjakan rancangan bangunan di seluruh dunia.) yang kedua adalah banyak melihat, kita yang tinggal di Indonesia bias iri karena terlalu sedikit contoh rancangan bangunan internasional dengan kualitas A ada di Indonesia. Hal ini dimaklumi karena ilmu arsitektur masih terlalu baru untuk ukuran Indonesia, seperti kita ketahui lulusan arsitek pertama dari ITB Indonesia, adalah pada tahun 1958. Dalam rentang waktu itu hingga kini para arsitek Indonesia belum mendapatkan tempatnya karena situasi politik dan pemerintahan yang memandang itu hanya sebelah mata. Masa keemasan arsitek Indonesia adalah masa jaman presiden pertama RI, karena di saat awal kemerdekaan itu Soekarno ingin membangun Jakarta agar setara dengan kota –kota metropolitan di duina. Tetapi setelah era Soekarno yang menyelenggarakan banyak kompetisi bangunan public, selama 30 tahun kita dikendalikan oleh penguasa yang otoriter
 yang kurang paham pada tatanan arsitektur. Tentu saja selama itu pula arsitektur yang dianut adalah arsitektur barat kapitalistik. Itu adalah masa-masa dimana terjadi boom minyak bumi dan sepanjang jalan sudirman Thamrin dibanjiri bangunan box kaca yang generic, inilah hadirnya international style.  

Saat saya menyelesaikan study arsitektur tahun 1995 dan kemudian menimba ilm dengan bekerja di berbagai Negara selama kurang lebih 10 tahun.  Saya merasakan hadirnya orde reformasi setelah orde sebelumnya tumbang. Pada masa itu hingga sekarang kita mendapatkan gempuran informasi yang begitu cepat, massif dan bombastis, gempuran gempuran itu sebenarnya bagian dari globalisasi dan penyetaraan persepsi. Sosial media tumbuh pesat yang menyebabkan menipisnya batas geografis seseorang. Sosial media yang tumbuh subur menjadikannya mediator bagi pertukaran gambar/ image ke seluruh dunia. Pertukaran ini menyebabkan arsitektur telah direduksi menjadi komoditas yang hanya dilihat dari image / tampaknya saja, tetapi pemahaman yang mendalam tentang bagaimana bangunan itu terbangun menjadi sangat kurang, konsep dalam berarsitektur telah direduksi hanya sebagai kulit luar tanpa arti.


Arsitektur Moderen

Tonggak sejarah arsitektur modern dicanangkan oleh Le Corbusier (1887-1965) pada tahun 1931, ketika dia dengan semangat membara meluncurkan sebuah buku klasik berjudul “Towards A New Architecture”  : salah satu argument dari Corbu adalah tentang arsitektur atau revolusi: The history of Architecture unfolds itself slowly across the centuries as a modification of structure and ornament, but in the last fifty years steel and concrete have brought new conquest, which are the index of greater capacity for construction, of an architecture in which the old codes have been overturned. If we challenge the past, we shall learn that “styles” no longer exist for us, that style belonging to our period has come about; and there has been Revolution.[3]
Corbu juga mengingatkan bahwa Architecture has nothing to do with the “styles” argument ini tetap relevan hingga saat ini.

Tonggak berikutnya adalah buku karya Rem Koolhaas “Delirious New York: Retroactive Manifesto for Manhattan (1978)  sebuah buku wajib bagi arsitek maupun mahasiswa arsitektur di seluruh dunia dalam buku ini Rem Koolhaas menyatakan  "The City is an addictive machine from which there is no escape"
 aspek kunci dari arsitektur yang Koolhaas perkenalkan adalah"Program": dengan munculnya modernisme di abad ke-20 "Program" menjadi tema utama dari desain arsitektur. Gagasan Program melibatkan "tindakan untuk mengedit fungsi dan aktivitas manusia" sebagai dalih desain arsitektur: dicontohkan dalam Form follow Function, pertama kali dipopulerkan oleh arsitek Louis Sullivan pada awal abad ke-20. Gagasan ini pertama kali dipertanyakan di Delirious New York, dalam analisisnya arsitektur bertingkat tinggi di Manhattan. Sebuah metode desain awal yang berasal dari pemikiran tersebut adalah "cross-pemrograman", memperkenalkan fungsi tak terduga dalam program ruang, seperti menyediakan trek lari di gedung pencakar langit.[4]

Tonggak berikutnya adalah buku Rem Koolhaas :S,M,L,XL setebal 1376 halaman
Buku yang diterbitkan tahun 1995 menggabungkan esai, manifesto, buku harian, fiksi, perjalanan, dan meditasi di kota kontemporer. Hampir sepuluh tahun Karya karya Rem Koolhaas di OMA yang gagal terealisir ditampilkan dalam buku ini sebuah implementasi dari hasil riset buku yang pertama, merupakan interpretasi dalam Manhatannisme, banyak istilah yang kemudian menjadi umum dalam istilah arsitektur seperti Biggness dan urbanisme.


Arsitektur dalam praktek pada firma BPA

Pada praktek arsitektur yang saya jalankan dan dalam mengantisipasi kemajuan dalam informasi teknologi dan dalam mengantisipasi perubahan cara bertinggal, urbanitas yang baru sehingga disadari perlu adanya firma rsitektur dengan kerangka riset yang kuat. Budi Pradono Architects (BPA) berdiri tahun 2005, didefinisikan sebagai firma arsitektur yang berbasis riset.[5] Hal ini memberikan output yang luas baik di bidang perancangan urban, bangunan privat, maupun bangunan kebudayaan dan komersial. Sebenarnya basis penelitian ini memberikan kesempatan yang luas agar BPA dapat selalu berinovasi dengan begitu karya-karyanya merupakan sesuatu yang benar-benar baru sehingga ke depannya dapat menggoreskan sejarah arsitektur di Indonesia. Dari sisi perancangan juga diharapkan dapat menjadi global karena mereduksi batas geografis suatu Negara, diharapkan ke depan dapat menjadi bagian dunia yang lebih luas. BPA karena berfokus pada perubahan lifestyle masyarakat kontemporer. tentu saja bersentuhan dengan kehidupan masyarakat dunia terkini, hal inilah yang menyebabkan analysis-analysis pada perubahan masyarakat ini yang akan menentukan rancangan sehingga rancangan-rancangannya menjadi sangat spesifik. Dalam presentasi kali ini saya akan menjelaskan metode dan sekaligus rancangan-rancangan terkini, yang terdiri dari beberapa studi kasus; proyek arsitektur ini semuanya memiliki beberapa pendekatan yang berbeda-beda, namun juga memiliki garis merah yang sejalan antara lain adalah pendekatan programming dan diagraming yang dapat diimplementasikan pada setiap study kasus. Perbedaan mendasar dari setiap proyek adalah karakteristik lokalitasnya atau konteks. Dengan begitu ramuan arsitekturnya adalah perkawinan antara programming dan konteks tempatnya atau the spirit of place nya.



[1] Disampaikan dalam Seminar arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogjakarta, 19 Mei 2015
[2] Budi Pradono (1971), anggota IAI professional, principal architect pada Budi Pradono Architects [BPA], firma arsitektur berbasis riset, direktur JADUL (Jakarta Digital Urban Lab), saat ini ditunjuk sebagai curator untuk pameran Austellung 70’s bad di Sciltach, Jerman 2014-2015, ditunjuk sebagai advisor pada pengembangan industry creative bidang desain dan arsitektur antara Indonesia dan UK 2014-2015,
[3] Le Corbusier, Towards A New Architecture, 1986, hal 7,
[4] Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan, New York, Monacelli Press, 1994; Rem Koolhaas, et al, originally published by Oxford University Press 1978, New York: Monacelli Press 1995), dalam buku tersebut Rem Koolhaas dengan rinci menceritakan bagaimana program yang terus berubah secara dinamik mengisi tower-tower di dalam grid yang tidak berubah

[5] BPA adalah singkatan dari Budi Pradono Architects, PT: Firma arsitektur berbasis riset yang didirikan pada tahun 2005. Sejak tahun 2005 berturut-turut mendapatkan penghargaan Emerging architecture award-UK, Cityscape Awards, Dubai, Silver Interach medal dan honorary diploma , Bulgaria (2007& 2009), WAF, World Architecture Festival, Barcelona (2008), World architecture Community, Barcelona (2009), dan IAI awards (2011& 2012), Karyanya juga terpilih dipamerkan pada Venice Architecture Biennale, Italy (2014), Jakarta Contemporary Ceramic (2014), dan Bamboo Biennale (2014)

Delirious New York by Rem Koolhaas reviewed by Carrie Bayley

Reviewed by Carrie Bayley

“Manhattan is the arena for the terminal stage of western civilisation... a mountain range of evidence without manifesto”, Koolhaas observes, and so begins his retroactive manifesto, a scripted chronology of the stages of Manhattanism, its’ permutations and lasting legacies; notably the culture of congestion, Manhattans own “metropolitan urbanism” and revolutionary lifestyle. Through his optimistic narrative “Delirious New York”, Koolhaas, a former screenwriter, sets about investigating the underlying and ironic truths of Manhattan, from the first signs of architecturally applicable technologies, through the great crash and to the present day, 1978. Through a pragmatic approach in understanding external factors and a series of case studies, he documents the reoccurring elements and themes in New York’s development and decline that make it “a theatre of progress” and “the capital of perpetual crisis”. This focuses in particular on the skyscraper as a product of the physical manifestation of Manhattanism on the grid, along with the relationship between this density-focused architecture and the culture of congestion.

At a time where New York had gained a reputation as “a graffiti-covered, crime-ridden relic of history”, Koolhaas, then the recent founder of OMA and visiting lecturer at Eisenman’s Institute for Architecture and Urban Studies in New York, begins to assess and promote what it took to make the capital of invention the ideal precedent and, therefore, what it would take to regain its rightful place on the world stage. He is reconstructing the “perfect Manhattan” so that it’s monumental successes and failures become more evident and it is by selecting New York as the focus of his first major work that Koolhaas sets a foundation for his career.

Split into five distinct “blocks”, an anthology covering “Coney Island, The Skyscraper, Rockefeller Center … Europeans ” and a fictional appendix, each with further component parts, the book acknowledges its affiliation with the Manhattan grid as “a collection of blocks whose proximity and juxtaposition reinforce their separate meanings”. In 1807-1811 “the final and conclusive” plan for Manhattan was made, resulting in the 2028 blocks of the grid to which Koolhaas pays a particular critical focus, labelling it an “artificial domain planned for nonexistent clients in anticipation”, a negative symbol of the short-sightedness of commercial interests with no regard for interaction between fragments or spontaneity. It is with an ever-growing population in a “metropolis of rigid chaos” that the skyscraper then becomes inevitable, forcing an upward extrusion of the grid to maximise profit, often without regard for the art of designing buildings. With the introduction of the 1916 zoning law comes a level of control on the cities scale explosion, without being too restrictive and therefore unintentionally providing a basis for intelligent architectural invention. “The metropolis needs/deserves its own specialized architecture”. When, through his work and with several other architects, Hugh Ferris investigates, but doesn’t solve, the true issues of Manhattan, focusing on the unexplored potential of zoning law, he famously creates the first concrete image of the “mega village” and later the “Ferrisian Void”. “Manhattanism is conceived in Ferriss’ womb”.

From Manhatta to Manhattan, the continuous experiment begins with its discovery by the Dutch in 1609, a link with the Europeans that continues through the rise and fall of the enterprise. “Manhattan is a theater of progress...the cyclical restatement of a single theme: creation and destruction irrevocably interlocked”, a quote which applies to many other scenarios throughout the text. An overview of Manhattans answer to the Crystal Palace introduces the reader to invention as a public spectacle, isolated from direct confrontation with reality. This is further explored in the section “Coney island: the technology of the fantastic”, a resort for the testing of ideas, social experimentation and surrealism in the form of reality. “ A resort implies the presence, not too far away, of a reservoir of people existing under conditions that require to escape occasionally to recover their equilibrium” and to survive as a place offering contrast from the reality shortage in the city, Coney contrasts the natural with the supernatural. To give an idea of scale, the infrastructure and communications networks contained within Luna Park are far superior and more energy consuming that most contemporary American cities. When the centennial tower arrives “it also offers an additional direction of escape: mass ascension”.

Through the accidental and planned inventions of its three parks, infrastructure is created to meet the demands of it’s overtaxed system and, becoming less popular the more people it attracts, Coney island develops bizarre and outrageous technologies, concepts and urban scenarios that eventually become applied in a normal context as the focus shifts to Manhattan. This establishes an urbanism based on the technology of the fantastic- defining completely new relationships between site, program, form and technology. As it is sent crashing back to reality after fire, that even its well-practised fire-fighter cast can’t extinguish, Coney meets its downfall. More ironically, it is proposed that the land should be turned into a public park, becoming a model for the modern Manhattan of grass, exactly what it was providing an alternative to. But the precedent doesn’t work second time around, the testing ground has to adapt with the times. Where Coney Island is the testing ground for the skyscraper, Manhattan then continues to be a testing ground for urbanism. And who is to argue that Manhattan wasn’t the inventor of these things? If not, Koolhaas is very convincing.

The inception of the culture of congestion and the technologies developed, notably the elevator and steel, facilitate the rise of the Manhattan skyscraper, “born in instalments between 1900 and 1910”. This represents the meeting of three breakthroughs, “the reproduction of the world”, “the annexation of the tower” and “the block alone”, each defined separately by Koolhaas “before they were integrated into a ‘glorious whole’”. As the demand for office space rises in an emerging metropolis with a restrictive grid, created there is a need for the production of an unlimited number of virgin sites in a single location, each with it’s own destiny outside of the control of the architect. Koolhaas describes the “ideal performance of the skyscraper” in its initial stages as a concept, existing in 1909, as 84 disconnected virgin sites stacked on top of each other- “a new form of unknowable urbanism”. As models of this descent manifest themselves within the grid, so presents itself one of Manhattans most intense themes- “a city in a building”. As the concept of the 100th floor approaches and the skyscraper becomes even more the product of an architecture by economy and with it comes what Koolhaas terms “Lobotomy”, that is, “less and less surface has to represent more and more interior activity”, a container for undetermined interior activity rather than the expression of that externally, a still relevant scenario characterising today’s urban fabric. At the point where the 1916 zoning law is introduced, the culture of congestion becomes an enterprise, an indication of the culture of the 21st century. “Congestion itself is the essential condition for realising each of these metaphors in the reality of the grid”.

Koolhaas explains a “summary of the phases of Manhattans urbanism, featuring all the strategies, theorems, paradigms and ambitions that sustain the inexorable progress of Manhattanism”. Portrayed in the creation of the Waldorf Astoria hotel and the Empire State building, “a skyscraper surpassing in height anything ever constructed by man”, is the conversion from virgin site to skyscraper in 150 years, an example of what he terms an auto monument. The problem at the beginning is simply that it isn’t a skyscraper and should become one in order to reap the financial harvest permitted by the 1916 law. There is no room for nostalgia. The Empire State is the last manifestation of Manhattanism as pure and thoughtless process, the climax of subconscious Manhattan and the first example of what was to come.

Through a description of the life of the Rockefeller Center we begin to understand Koolhaas’ intentions. By this point, he has introduced key characters and themes which are optimised in the creation of the Rockefeller Center, a city within a city exemplifying the financial viability of the skyscraper and representing congestion on all possible levels. As a hybrid building, the building isn’t assigned a hierarchy, nor does it follow a specific typology, but parts of the mountain are assigned to necessary functions, what Koolhaas terms the “the vertical schism, which creates the freedom to stack such disparate activities directly on top of each other without any concern for their symbolic compatibility”. To fit a brief “the center must combine the maximum of congestion with the maximum of light and space”, an achievable target given the great depression of the 1930’s which represented time to think, “an enforced break in the frenzy of production”, and for the principals of the center to become more idealistic than commercial. It is described as “a masterpiece without a genius”, a result of the work of the associated architects, formed in part during the crash and proof for Koolhaas of the advantages of architecture by committee. “There is at least one idea for each of its 250million dollars”. “Rockefeller Center is the fulfilment of the promise of Manhattan. All paradoxes have been resolved. From now on the metropolis is perfect.”. It promises a significant contribution to the city planning of an unfolding future.

The end is marked with the invasion of the Europeans who come to “reclaim” Manhattan and adapt it to their own needs. “A tourist returns from foreign unrecognisable” and so did the skyscraper once it had been to Europe”. Through a bizarre cross fertilization of misunderstood rhetoric, American pragmatism and European idealism have exchanged ethos”. A particular emphasis on Dali and Le Corbusier represents Koolhaas’ apparent aversion to Le Corbusier. Where Dali does not attempt to tamper “with its physique”, Le Corbusier “proposes literally to destroy it” and in doing so first attempts to disprove the existence of the city as machine before he can create his own alternative where there is no place for the technology of the fantastic only business, the result being the anti skyscraper. After a “worldwide journey of paranoia” Corbusier brings the Radiant city, a theoretical metropolis in search of location and the anti Manhattan, to New York. But the scheme possesses no metaphor and by proposing to literally solves congestion and kills it, so creating the urban non event New York’s own planners have always avoided, a result of excluding of the factors that have built the Ferissian mountain. In the late thirties Manhattanism is waning. Post-war architecture is the accountants’ revenge on pre-war businessmen’s dreams. The formula “technology + cardboard = reality” created in the early days of Coney Island has retuned to haunt Manhattan, the result being not “peeling white paint but disintegrating curtain walls of the cheap skyscraper”. “Through its amnesia, Manhattan no longer supports an infinite number of superimposed and unpredictable activates on a single site; it has regressed back to the clarity and predictability of univalence- to the known.”


In a fictional conclusion, Koolhaas demonstrates a series of four ironic, speculative and hypothetical projects for New York which encompass all the themes in the book and are “an interpretation of the same material”. With the story of the pool, the last metaphor raises its head, representing the new influx of designers escaping to the freedom of New York but who will inevitably find it destroyed when they present themselves as scriptwriters for the New York stage.

Monday, October 19, 2015

Memahami sejarah demi melahirkan kekinian oleh Budi Pradono

Perkembangan Arsitektur Indonesia dalam pengamatan arsitek Indonesia
Memahami sejarah demi melahirkan kekinian[1]
Oleh: Budi Pradono[2]

Pengantar
Untuk memahami perkembangan arsitektur Indonesia sebenarnya harus mendudukan arsitektur Indonesia di dalam konteks sejarah. Pengetahuan akan sejarah, baik sejarah arsitektur Indonesia maupun sejarah arsitektur barat akan memposisioning-kan para pelaku praktisi arsitektur di dalamnya. Hal ini penting disadari agar semangat untuk menghadirkan inovasi, semangat untuk menghadirkan kebaharuan atau kekinian akan terus menyala yang selalu berkolerasi dengan lifestyle, kehidupan masyarakat middle class di kota-kota besar di Indonesia maupun juga dengan kemajuan komunikasi dan tehnologi. Hal ini dengan jelas telah merubah cara berpikir, strategi inovasi, maupun dalam penggunaan material baru yang semakin hari semakin melewati batas-batas geografis suatu negara. Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu; Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia, Arsitektur Paska reformasi 1998, Arsitektur Nusantara dan arsitektur Hijau. Arsitektur dalam praktek di studio BPA, dan yang terakhir adalah Arsitektur masa depan era Jokowi.

1. Arsitektur Kolonial dan Arsitektur Indonesia

Arsitektur Kolonial saya definisikan sebagai arsitektur jaman penjajahan Belanda. Setelah diamati secara seksama Kota Jakarta pada abad ke 18 ternyata memiliki kesamaan sejarah dengan kota New York. Pada masa itu Belanda sudah mencanangkan Jakarta sebagai kota maritim yang tidak berbeda dengan kota Amsterdam di Belanda maupun Manhattan di New York, Amerika Serikat. Pada masa pra kolonial pada abad 12 hingga abad 16 sejak Kerajaan Pajajaran yang diberi nama Sunda Kelapa pada pantai utara Jawa, yang terletak di hilir Kali Ciliwung. Namun kerajaan Padjajaran ini tidak dapat bertahan lama ketika pada tahun 1527 Sultan Hassanudin menyerang dan menguasai Banten dan Sunda Kelapa. Sejak tanggal 22 Juni 1927, Fatahillah merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (bahasa sanksekerta berarti Kota yang Jaya).  Disebutkan dalam buku Dumarcay pada abad ke 17, Jayakarta memiliki populasi kira kira 10.000 orang.
Kita bisa melihat  bahwa orang orang Belanda  (VOC) mencoba mengimplementasikan grid kota Batavia berukuran 2,250 m panjang dan 1500m lebarnya, berdasarkan rancangan Simon Stevin tentang ‘Ideal city plan’ yang terinspirasi dari buku Saint Agustine diimplementasikan pada tahun 1650 berupa Batavia city plan. Dengan kanal-kanal yang mirip kota Amsterdam.[3]


Gambar1. Batavia Belanda tahun 1981, dibangun di daerah yang sekarang disebut Jakarta Utara.
Sumber ; http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company . Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.20 WIB

Pada tahun 1740, ketika VOC, Belanda berusaha mengurangi populasi masyarakat China keturunan yang tinggal di Jayakarta, dengan kebijakan untuk memulangkan para pelaku kriminal ke negaranya sekaligus melarang kedatangan orang-orang China baru, hal ini menyulut kemarahan

masyarakat keturunan China di Jayakarta, perlawanan ini mengakibatkan terbunuhnya hampir ribuan orang-orang China yang tinggal di Batavia. Pada tahun 1799 masyarakat China dapat kembali tinggal secara aman di daerah Wetevreden area di luar Benteng kota Batavia.


Gambar 2. Kota Amsterdam 1650 – 1660.
Sumber ; http://www.nc-chap.org/castello/index.php . Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.25 WIB

Dari sejarah di atas dapat kita simpulkan bahwa situasi politik dan kerusuhan pada abad 17 tersebut mempengaruhi perubahan penataan kota sekaligus mempengaruhi model permukiman setempat. Pemindahan kota administrative Batavia ke kawasan Weltevreden dan Koeningsplein sekarang menjadi Lapangan Banteng dan Monas, sebenarnya di titik itu Jakarta mulai meninggalkan ciri kota Maritim sehingga dalam perkembangannya kawasan hinterland seperti, Sudirman, Thamrin, dan Casablanca berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, [4] sementara pusat kota yang lama jadi terabaikan.

Jika kita pelajari dari sejarah situasi di Batavia masa itu juga terjadi di New York Sungai Hudson di New York ditemukan oleh Henry Hudson pada tahun 1609. Pada tahun 1623 ada sekitar 30 keluarga yang berdatangan ke kota Manhattan di antara mereka ada seorang insinyur Belanda bernama Cryn Fredericksz, yang membagi tanah di kota Manhattan menjadi beberapa parcel.[5]
Gambar3: Peta Lower Manhattan tahun 1847.
Sumber ; http://commons.wikimedia.org/wiki/File:1847_Lower_Manhattan_map.jpg . Diakses tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19 35 WIB

Kota Manhattan dibagi dalam ‘grid’ kota, penduduk lokal lebih suka menggunakan ukuran ‘block’ seperti misalnya dua blok atau lima blok dari satu tempat. Biasanya di kota New York, 1 miles sama dengan 20 blok. ‘A few  block’ berarti jarak yang dekat dan bisa jalan kaki saja. Sistem grid di Manhattan telah dilaksanakan pada tahun 1811 melalui satu undang-undang di Dewan Legislatif New York yang dikenal sebagai Commissioner’s Plan of 1811. Grid kota Manhattan tersebut merupakan cikal bakal urbanisme dimana kepemilikan dalam satu blok terdiri dari kepemilikan publik, jalan dan serta kepemilikan pribadi di dalam lot tanah tersebut. Hal ini sangat menarik bahwa grid kota Manhattan tidak berubah selama lebih dari 200 tahun.
Dengan memperhatikan sejarah kota Batavia / Jakarta, Amsterdam dan Manhattan, kita dapat mengetahui adanya kemiripan morfologi kota karena dibangun pada abad yang hamper sama dan juga sama sama dikuasai oleh orang orang Belanda. Sehingga kemiripan itu menimbulkan pertanyaan mengapa grid kota Batavia yang berubah arah dan tidak mampu bertahan lama. Hal ini terjadi ketika pada awal abad Sembilan belas ketika Pemerintahan Batavia di pindahkan kea rah lapangan Banteng dan Monas sehingga sejak titik itu orientasi kemaritiman mulai tereduksi terlebih lagi ketika tahun 50-an ada penolakan semua yang berbau kolonial, terjadi pengusiran seluruh tenaga ahli dari negeri Belanda, termasuk arsitek, perencana kota serta dosen-dosen pengajar yang ada di ITB. Pemidahan pusat kota kearah tengah, telah merubah orientasi, yang tadinya berorientasi maritim menjadi berorientasi ke darat.
Arsitektur Indonesia mulai tumbuh dan menggeliat ketika jaman pemerintahan Soekarno, presiden pertama republik Indonesia. Dengan semangat nasionalismenya beberapa bangunan dikompetisikan secara baik, dan para pemenangnya diimplementasikan dilapangan sebagai symbol-simbol Negara. Contohnya adalah gedung MPR-DPR di jalan Gatotsubroto, Gedung Bank Indonesia, masjid Istiqlal, dan lain sebagainya.
Pencarian arsitektur modern pada era Soekarno yang anti imperialis dan anti kapitalis, pada era Soeharto berubah haluan dimana booming minyak dan perlunya pembangunan besar-besaran di ibukota Negara, dalam era Soeharto era kapitalisme, kita bisa melihat sepanjang jalan jendral sudirman dan Thamrin hadir berderet-deret bangunan gedung-gedung tinggi yang memiliki kesamaan bahasa, bahasa kaca, dan hampir 85 % dirancang oleh arsitek asing(Amerika) inilah yang memicu hadirnya semangat baru di kalangan arsitek Muda Indonesia (AMI) yang mencoba unjuk gigi. Dalam era kapitalisme Soeharto kita bisa membaca bahwa ‘sisi gelap’ modernisme menurut Anthony Giddens dalam ‘The Consequence of Modernity (1990) benar-benar nyata yaitu petaka bagi umat manusia.[6]

2. Arsitektur Paska Reformasi 1998
Turunnya Soeharto sebagai presiden sekaligus pahlawan pembangunan menyebabkan eforia kegembiraan tapi sekaligus gamang, karena keinginan untuk berexpresi dibatasi oleh krisis ekonomi disertai juga dengan isu keamanan, seperti diketahui ketika turunnya Presiden Soeharto (1970-1998) dibarengi dengan aksi pembakaran bangunan-bangunan serta penjarahan pada bangunan komersial dan serta pembakaran rumah-rumah orang-orang kaya yang umumnya yang ber-etnis Tionghwa. Hal inilah yang mendasari bahwa proyek-proyek dari para arsitek Muda Indonesia diwarnai oleh proyek-proyek berskala kecil (private house) yang pada umumnya meminta standard perancangan dengan system keamanan yang maksimal. Bangunan-bangunan publik juga belum di kompetisikan secara baik dan maksimal meskipun sudah ada beberapa namun dengan kuantitas yang sangat sedikit.
Pada era SBY meskipun kompetisi bangunan publik sudah mulai diperbanyak namun belum mengurangi substansi dasar misalnya bangunan-bangunan rumah susun maupun sekolah atau universitas belum diserahkan pada arsitek yang ber-konsep.
Pada era kepemimpinan presiden Soesila bambang Yoedoyono (SBY) tidak terlihat satu upaya untuk membangun monumen yang dapat membanggakan sehingga hampir tidak ada bangunan publik yang baik. Pada lima tahun pertama gedung pemerintah yang sangat menonjol adalah gedung kementrian perdagangan yang pada saat itu dijabat oleh Marie Elka Pangestu, dan menunjuk arsitek DCM untuk merancang gedung tersebut dan memperoleh penghargaan IAI award.


3.Arsitektur Nusantara dan Arsitektur Hijau
            Pada lima tahun terakhir pemerintahan SBY (2010-2014), isu tentang Arsitektur Nusantara dan Arsitektur hijau semakin menguat. Hal ini didorong oleh percepatan informasi sebagai efek dari globalisasi dimana terjadi ketidak seimbangan alam (terjadi bencana bumi, tanah longsor, tsunami, banjir) menyebabkan para arsitek mulai memperhatikan kembali aspek-aspek hijau di setiap bangunanya, bahkan karena adanya sertifikasi hijau oleh lembaga-lembaga independen seperti LEED di Amerika serikat, dll.
Di sisi lain arsitektur Nusantara banyak sekali mendapatkan perhatian, ini mulai diangkat oleh almarhun DR. Galih Pangarsa dari Universitas Brawijaya, Malang serta Josef Prijotomo prof. dari Universitas sepuluh November, Surabaya. Adapaun arsitek praktisi yang sangat antusias menyelamatkan kembali arsitektur Nusantara adalah Yori Antar (yayasan Rumah Asuh) yang salah satu karya pembangunan kembali bangunan tradisional di Wae Rebo[7] mendapatkan UNESCO Award dan juga sebagai finalis pada Aga Khan Awards yang merupakan penghargaan tertinggi yang setara dengan penghargaan hadiah Nobel.
4. Arsitektur dalam praktek di studio BPA[8]
Praktek arsitektur yang ada di dunia terbagi ke dalam beberapa golongan atau kategori terutama dalam spesialisasi yang dikerjakan praktek arsitektur yang fokus pada perancangan bangunan komersial, bangunan rumah, bangunan hospitalitas (hotel/ villa), desain urban. Dalam studio yang saya pimpin Budi Pradono Architects (BPA) berdiri tahun 2005, mencoba mendefinisikan sebagai firma arsitektur yang berbasis riset. Hal ini memberikan output yang luas baik di bidang perancangan urban, bangunan privat, maupun bangunan kebudayaan dan komersial. Sebenarnya basis penelitian ini memberikan kesempatan yang luas agar BPA dapat selalu berinovasi dengan begitu karya-karyanya merupakan sesuatu yang benar-benar baru sehingga ke depannya dapat menggoreskan sejarah arsitektur di Indonesia. Dari sisi perancangan juga diharapkan dapat menjadi global karena mereduksi batas geografis suatu Negara, diharapkan ke depan dapat menjadi bagian dunia yang lebih luas. BPA karena berfokus pada perubahan lifestyle masyarakat kontemporer tentu saja bersentuhan dengan kehidupan masyarakat dunia terkini, hal inilah yang menyebabkan analysis-analysis pada perubahan masyarakat ini yang akan menentukan rancangan sehingga rancangan-rancangannya menjadi sangat spesifik. Dalam presentasi kali ini saya akan menjelaskan metode dan sekaligus rancangan-rancangan terkini, yang terdiri dari 6 studi kasus; ke enam proyek arsitektur ini semuanya memiliki beberapa pendekatan yang berbeda-beda, namun juga memiliki garis merah yang sejalan antara lain adalah pendekatan programming dan diagraming yang dapat diimplementasikan pada setiap study kasus. Perbedaan mendasar dari setiap proyek adalah karakteristik lokalitasnya atau konteks. Dengan begitu ramuan arsitekturnya adalah perkawinan antara programming dan konteks tempatnya atau the spirit of place nya.
a. Study kasus proyek Kencana House-isu keamanan dan kenyamanan tinggal di sekitar komunitas campuran.
Kencana House[9] terletak di sisi pinggir kompleks perumahan atau area gated community, karena letaknya di perempatan jalan tentu saja bangunan yang akan dibangun ini berhubungan langsung dengan para tetangga baik perkampungan informal, pasar dengan sampahnya, sementara di sisi dalam juga berdekatan dengan kuburan tepat berada di tengah-tengah complex. Keluarga ini mengalami pengalaman buruk saat kejadian kekacauan politik dan ekonomi di tahun 1998 ketika era reformasi dimulai menggantikan rezim Soeharto yang otoriter dan mengagungkan kapitalisme. Tentu saja trauma ini tidak bisa hilang ketika mereka kembali ke Indonesia. Oleh sebab itu ketika saya dipercaya untuk merancang rumah mereka sebenarnya obyek risetnya adalah hubungan antara keluarga tersebut yang erat dan ditunjukkan dengan rumah lamanya dimana meja makan dan perpustakaan keluarga adalah pusat komunikasi keluarga.
Gambar4: Kencana House, foto oleh Budi Pradono, cortesy BPA
Sumber : dokumentasi budi pradono architects

Sementara di sisi urban adalah bagaimana mengantisipasi aspek keamanan yang super aman atau aspek keamanan bangunan tapi juga sekaligus ramah pada lingkungan. Saya juga ingin menghadirkan urban void sebagai usaha untuk memberikan pencahayaan alami ke dalam bangunan sebanyak-banyaknya. Pemrograman kembali seluruh kebutuhan ruang akhirnya membentuk satu komposisi yang mengadopsi konsep atrium di tengah rumah. Secara zonasi seluruh ruang ruang privat seperti ruang tidur dan perpustakaan berada di lantai dua. Sementara ruang makan dan perpustakaan memiliki hubungan vertical yang mengimplementasikan lifestyle para penggunanya. Jadi meskipun memiliki rumah baru lifestyle berkumpul diantara keluarga baik di ruang makan maupun perpustakaaan tetap terjaga. Secara Urbanitas saya ingin menghadirkan softscape pada rumah ini dengan jalan menghijaukan seluruh rumah supaya rumah ini memiliki kesan yang lembut (soft) pada sekitarnya oleh karena itu seluruh muka bangunan pada sisi bawah dipenuhi dengan tanaman sementara di sisi atas (bagian-bagian yang lebih privat) di tutup dengan metal sebagai secondary skin. Metal ini diberi pelubangan berupa pola bunga Flamboyan (sebagai bunga kesayangan pemilik) agar memiliki keterkaitan historis dengan masa kecilnya. Pelubangan ini dengan menggunakan teknologi lasercut memberikan efek yang dualism, di satu sisi memberi keamanan jika terjadi kekacauan karena terbuat dari metal yang keras, di sisi lain skin ini memberikan pencahayaan yang eksotis ke dalam kamar (ruang-ruang privat) pada pagi hari, sementara di malam hari bangunan ini diharapkan dapat menjadi penerangan masyarakat di sekitar bangunan. Metode ini merupakan metode kompromi yang sangat fundamental dalam konteks urban sekaligus menjawab tantangan programming di dalam hunian.
b. Study kasus proyek A house, Bintaro-isu tipology baru bertinggal dengan mendekatkan kembali pada alam, menanggapi lifestyle bertinggal dengan gadget.
Pada study kasus A-House memiliki kemiripan dalam hal posisi rumah yang berada di pertigaan di satu sisi berbatasan dengan jalan dan sungai yang memotong kompleks perumahan / gated community ini jalan yang melintas di samping sungai adalah jalanan umum yang menghubungkan jalur pasar perumahan dan juga informal urban kampong. Di sisi lain pemilik rumah merasa tergangu dengan adanya kendaraan yang lalu lalang di samping rumah sehingga strategi programmingnya adalah dengan menempatkan ruang makan dan pantry di area lantai dasar, di lantai ini pula dibangun trap tempat duduk yang sekaligus sebagai penetrasi kebisingan.
Description: D:\MH\PRESENTASI UNPA BP\presentasi_pancasila\A_house selctd\027-A House (BPA) -24.03.2014-emaiL.jpg
Gambar5: A House, foto oleh Fernando Gumulya, cortesy BPA
Sumber : dokumentasi budi pradono architects (BPA)

Pemilik rumah adalah seorang dokter bedah yang harus bekerja hingga larut malam, keluarga ini juga adalah pecinta tanaman dan aquascape. Stretegi yang dilakukan adalah mempertahankan pohon yang sudah ada, yaitu pohon ketapang kencana yang sangat besa dan berumur kurang lebih sepuluh tahun, tingginya sekitar Sembilan meter. Karena memberi perhatian khusus pada pohon ini sehingga komposisi rumah yang harus mengalah. Karena bangunan ini berada di wilayah Bintaro saya ingin membawa semangat penghijauan ke dalam bangunan ini. Secara extreme, sebuah pohon Pule berhasil di tanam di sisi dalam rumah dengan begitu pengguna nya akan merasa tinggal ditengah hutan. Di sisi samping jalan juga berhasil di tanam dua pohon pule. Pohon ini di pilih karena memiliki makna simbolis dimana kulit dan daunnya dapat dipergunakan sebagai obat. Di lantai tiga adalah master bedroom. Kamrmandinya dibuat berada tepat di sisi jalan berdampingan dengan pohon-pohon Pule di sisi jalan, sehingga ketika mandi pemiliknya merasa kembali kea lam, kedekatan kepada alam menjadi isu yang signifikan pada masa kini setelah setiap orang mulai mencintai gadget / smartphone, sehingga kedekatan dengan alam perlu di ciptakan kembali.
d. Study kasus Rumah Miring[10]-isu sebagai kritik pada fenomena gated community yang cenderung memerlukan symbol-symbol kesuksesan.
Rumah kecil ini ukuran kapling 8m x 20 m berada di kawasan Pondok Indah, meskipun menjadi bagian dari gated community tetapi bangunan ini tepat berada di antara batas sungai dan permukiman kampong yang masih aseli. Kawasan Pondok Indah di wilayah Jakarta Selatan merupakan complex perumahan / gated community yang sangat berhasil yang dibangun pada tahun 80-an. Sejak saat itu hingga sekarang Pondok Indah menjadi symbol status. Beberapa anggota parlemen yang sukses di Jakarta, maupun artis dari daerah lain yang sudah merasa berhasil mereka merasa perlu memiliki rumah di kawasan ini. Simbol-simbol kesuksesan ini selain lokasi / keberadaannya pada umumnya ditunjukkan juga dengan bahasa arsitekturnya misalnya dengan menggunakan kolom-kolom struktur yang memiliki kemiripan dengan yang ada di Italy mapun Perancis, dengan wajah kepalsuan. Pilar-pilar ini menunjukkan kesuksesan. Untuk menjawab tantangan inisaya mulai mempertanyakan kepada pemiliknya apakah dia masih memerlukan symbol-simbol itu atau malah sebaliknya? Ternyata dia setuju untuk membongkar situasi ini dengan mendekonstruksi wacana yang sudah umum dengan memiringkan seluruh rumah menjadi sesuatu yang hamper jatuh.
Description: H:\0000 BPA PUBLICATION\CG LOFT HOUSE\selected photos\low\RUMAH MIRING in Pondok Indah Jakarta by Budi Pradono (12).jpg
Gambar6: Rumah Miring, foto oleh FX. Bambang SN, cortesy BPA
Sumber : dokumentasi budi pradono architects (BPA)

Ini merupakan sebuah perlawanan yang cukup extrim. Arsitek diberi keleluasaan untuk mencermati lingkungan sekitarnya dan bereaksi dengan proposal ini. Rumah Ini juga bertetangga dengan rumah salah satu musisi Indonesia Ahmad Dhani yang sem;at membuat kehebohan gara-gara kostum nazi yang digunakan pada saat kampanye pemilihan presiden. Rumah Dhani dicat berwarna serba hitam, sementara rumah ini di cat serba putih. Kebetulan yang tidak disengaja ini semakin memperkuat posisioning rumah miring sebagai sebuah karya arsitektur yang mengkritisi lingkungannya , arsitektur menjadi device / alat kritik.
c. Gugenheim museum Helsinki[11]-isu kinetik fasad dan pendekatan urban, penyatuan dengan lingkungan teluk dan kawasan kota lama.
Bilbao effect yang dibuat oleh Frank Gehry pada kota lama Bilbao seperti ingin diulang kembali di berbagai tempat di belahan bumi yang lain.
Description: D:\MH\RENDER GUGGENHEIM\3 PERSPECTIVE.jpg
Gambar7: Gugenheim museum Helsinki 2014, images cortesy BPA
 Sumber : dokumentasi budi pradono architects

Dalam proyek ini Gugenheim musem tentunya ingin mendapatkan effek yang sama, sebagai kota desain Helsinki mengkompetisikan secara internasional proyek ini. Ide dasarnya adalah bagaimana membuat bangunan yang sangat sederhana, mencerminkan kota Helsinki tetapi di sisi yang lain sangat canggih dan sekaligus cantik yang mencoba mengimplementasikan seluruh inovasi yang pernah ditemukan mulai dari kinetic facad pada sisi yang menghadap laut hingga partisi pembatas ruang yang mampu dipindahkan dengan mudah baik oleh pengunjung museum itu sendiri atau p[ara kuratornya. Ini menyiratkan bahwa inovasi di bidang dinding dan sekaligus pencahayyan akan menghasilkan Bilbao effect yang benar-benar berbeda./ dinding partisi yang terbuat dari balon yang direkatkan ke latai dengan mennggunakan magnet dapat mengalami iluminasi sehingga dinding balon ini bisa menyala, maupun menjadi dinding yang massif semi transparan mapun transparan. Inovasi dalam pengorganisasian ruang ini juga dibarengi dengan lantai yang ondulating yang membentuk gunung yang landai. Atapnya yang landi berbentuk seperti bukit yang memiliki terasering yang juga berfungsi sebagai tempat duduk bagi masyarakat. Dari sana masyrakata dapat menikmati keindahan teluk itu maupun dapat menikmati kawasan kota lama juga aksesbilitas yang langsung ke arah taman kota.
d. Art Villa-Anti object-isu bagaimana menciptakan hunian yang tidak perlu lagi berteriak di sekelilingnya.
The hobbit ini merupakan art villa di daerah perbukitan di Dago Giri Bandung,  merupakan perancangan hasil kolaborasi dengan seniman kontemporer Indonesia, Agus Suwage; pada awalnya karena complex kawasan art villa ini terdiri dari 19 villa dan satu restaurant yang terdiri dari 5 arsitek bersama 5 seniman. Hamper semua arsitek merancang bangunannya berbagai macam bentuk dan ketika maketnya disatukan terlihat seperti sekumpulan patung yang saling berteriak.
Description: D:\MH\PRESENTASI UNPA BP\presentasi_pancasila\Art Villa Pager wangi\birdview.jpg
Gambar8: Hobbit House, Art Villa, Pager Wangi, 3d model oleh BPA Team, cortesy BPA
Sumber : dokumentasi budi pradono architects (BPA)

Kita memutuskan untuk membuat artvilla yang tidak perlu lagi berteriak sehingga seluruh program ruangnya di tanam ke dalam tanah. Dengan menanam seluruh ruang ke dalam tanah villa ini mengandalkan pencahayaan alami dari atas. Void dibuat di tengah yang memberi penerangan pada setiap kamarnya seluruh dindin bangunan dibuat dari adobe. Kita menginginkan bahwa semua tanah dari lokasi ini digunakan kembali untuk membuat dinding adobe ini.
e. Kampung vertikal di Manggarai, Jakarta-isu kemandirian energy, dan ruang publik yang memadai, transformasi kampong horizontal menjadi kampung vertikal.
“Inverted Pyramid” atau Piramida Terbalik mengusulkan adanya pendefinisian ulang dari kampung tradisional pemukiman di Jakarta menjadi sebuah desa kontemporer vertical yang terletak di wilayah Manggarai kota. Sebuah kampung biasanya didefinisikan sebagai pemukiman yang sangat informal dan tidak teratur serta seringkali menjadi wilayah padat penduduk.
Description: INVERTED PYRAMID_BPA JAKARTA 2.jpg
Gambar9: Inverted Pyramid, Kampung Vertikal, 3d model oleh BPA Team, cortesy BPA
Sumber : dokumentasi budi pradono architects (BPA)

The Inverted Pyramid atau Piramida terbalik ini menggunakan prinsip-prinsip informal yang sama, yang memungkinkan munculnya ruang sosial secara acak di dalam rongga kosongnya, selain itu juga memungkinkan adanya kepadatan penduduk yang lebih tinggi di daerah tersebut yang disebabkan oleh siaft alamiah dari kondisi vertikal tersebut.  Piramida terbalik oleh BPA merupakan proposal masa depan yang bertujuan untuk membalikkan persepsi piramida sebagai tempat eksklusif untuk keluarga raja dan upacara, membuatnya lebih dapat diakses untuk semua orang. Kerucut terbalik yang baru ini akan memberikan ruang publik serta menampung air dan matahari untuk memberikan energi bagi piramida.
Struktur kerangka baja tidak hanya menghasilkan energi untuk piramida melalui pengumpulan sinar  matahari, tetapi juga menjadi rumah bagi sejumlah lahan pertanian dan perikanan, dan memberikan ruang anjungan bagi unit bisnis untuk dapat bekerja dan hidup. Piramida menyediakan enam blok untuk perumahan sosial serta satu blok untuk fasilitas umum termasuk masjid, gereja, fasilitas rekreasi dan parkir mobil. Hal ini juga mencakup sebuah taman kota yang luas ke dalam tata kota. Konsep baru ini berusaha untuk mempertahankan budaya dan gaya hidup yang sudah ditemukan di Kampung tradisional, memungkinkan bagi individu dan keluarga untuk membangun kembali dan merenovasi rumah mereka sendiri dengan tipologi yang berbeda dari pintu, jendela dan bagian-bagian lainnya, yang membuatnya menjadi kunci untuk tumbuhnya semangat di pemukiman. Namun, piramida adalah tempat tinggal yang jauh lebih berkelanjutan daripada desa-desa tradisional yang terhampar secara horisontal karena struktur dalam piramida dapat menghasilkan energi untuk tempat tinggal, yang biasanya tidak ditemukan dari struktur rumah tradisional. Infrastruktur dari piramida memungkinkan orang untuk mencapai tingkat tertinggi dengan mudah melalui lift, tangga dan moda transportasi lainnya. Bagian tingkat atas terhubung dari satu sisi ke sisi lainnya melalui serangkaian trotoar pejalan kaki bertingkat di seluruh ruang piramida.
Dalam setiap piramida masyarakat diberikan tunjangan untuk mengembangkan bisnis berbasis rumah, seperti menjahit pakaian, memperbaiki barang listrik dan sebagainya, dalam rangka mendukung sektor informal dalam masyarakat dan menjaga keseimbangan kota dan berkontribusi pada iklim ekonomi dari daerah sekitarnya.
5. Harapan Arsitektur Indonesia pada Era Jokowi
Presiden Indonesia yang ke tujuh bapak Joko Widodo atau lebih populer dengan Jokowi yang baru saja dilantik tentunya akan memberikan nafas dan harapan baru bagi arsitek maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Jokowi yang tumbuh besar sebagai masyarakat biasa yang tinggal di pinggir kali di Surakarta, dan pernah mengalami penggusuran tentunya memiliki empaty yang sangat besar pada masyarakat kecil, masyarakat marginal yang terpinggirkan terbukti ketika menjabat sebagai gubernur DKI selama 1,5 tahun saja sudah membenahi banyak hal dengan program program yang inovatif dan dilaksanakan dengan sangat cepat baik itu rumah susun, pasar tanah abang maupun program rumah deret. Sebagai presiden tentunya dia akan memiliki kebijakan setingkat nasional misalnya rumah susun bagi masyarakat perkotaan harus dan wajib dirancang oleh arsitek Indonesia yang terbiasa merancang hotel berbintang dan dikompetisikan secara terus menerus sehingga menghasilkan social house/ rusun yang lebih manusiawi tidak hanya asal kotak, tapi memiliki area-area public yang lebih manusiawi atau terdapat kebun sayuran semua inovasi akan hadir sejalan dengan keterbukaan dalam perancangan. Dalam penataan kota tentu saja kita berharap nbahwa semua masterpan pengembangan kota harus didesain dan dirancang oleh ahlinya yang berkompeten dibidangnya.







[1] Disampaikan dalam Seminar arsitektur pada peringatan 50 tahun Universitas Pancasila di Jakarta Design Centre (JDC) Slipi, Jakarta, 27 Oktober 2014
[2] Budi Pradono (1971), anggota IAI professional, principal architect pada Budi Pradono Architects, firma arsitektur berbasis riset, direktur JADUL (Jakarta Digital Urban Lab), saat ini ditunjuk sebagai curator untuk pameran Austellung 70’s bad di Sciltach, Jerman 2014-2015, ditunjuk sebagai advisor pada pengembangan industry creative bidang desain dan arsitektur antara Indonesia dan UK.
[3] Johanes Widodo; Jakarta: a Resilient Asian Cosmopolitan City, National University of Singapore, sumber : https://www.academia.edu/8451926/JAKARTA_a_Resilient_Asian_Cosmopolitan_City diakses pada tanggal 21 September 2014
[4] Kemas Ridwan Kurniawan, PARADOX, Sebuah Naratif Tentang Arsitektur dan Urbanisme di Indonesia Pasca Reformasi, pidato pengukuhan guru besar tetap bidang arsitektur UI; Kurniawan mengungkapkan bahwa kawasan kota lama kini adalah representasi dari pertarungan ruang (‘spatial contestation’)antara para reformist dan revitalist antara formalist, capitalist, dan environmentalist.
[5] Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan, New York, Monacelli Press, 1994; Rem Koolhaas, et al, S,M,L,XL, originally published by Oxford University Press 1978, New York: Monacelli Press 1995), dalam buku tersebut Rem Koolhaas dengan rinci menceritakan sejarah pembagian blok sebagai cikal bakal terbentuknya grid di kota Manhattan.

[6] Giddens, The Consequence of Modernity (Standford: Standford University Press, 1990); Sisi gelap modernisme diantaranya adalah penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa, penindasan oleh yang kuat pada yang lemah, ketimpangan social, kerusakan lingkungan pemicunya adalah kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir, kedua industrialisasi yang mensyaratkan inovasi.
[7] Baca: Yori Antar: ‘Pesan dari Wae Rebo: Kelahiran kembali arsitektur Nusantara, sebuah Pelajaran dari Masa Lalu untuk Masa Depan’ , Gramedia Pustaka Utama 2010
[8] BPA adalah singkatan dari Budi Pradono Architects, PT: Firma arsitektur berbasis riset yang didirikan pada tahun 2005. Sejak tahun 2005 berturut-turut mendapatkan penghargaan Emerging architecture award-UK, Cityscape Awards, Dubai, Silver Interach medal dan honorary diploma , Bulgaria (2007& 2009), WAF, World Architecture Festival, Barcelona (2008), World architecture Community, Barcelona (2009), dan IAI awards (2011& 2012), Karyanya juga terpilih dipamerkan pada Venice Architecture Biennale, Italy (2014), Jakarta Contemporary Ceramic (2014), dan Bamboo Biennale (2014)
[9] Kencana House karya BPA mendapatkan penghargaan annual design award 07 dari media architecture+, serta finalis IAI awards tingkat Nasional tahun 2012
[10] Rumah Miring dimuat di media online Dezeen berbasis di London sejak pertama kali di release tahun 2010.
[11] Kota Helsinki sejak di tetapkan sebagai kota desain