Monday, December 7, 2009

On progress: Pure Shin Si Li exhibition space, Taipei, Taiwan by budi pradono architects 2009-2010

On Progress: Pure Shin Si Li Exhibition space, Taipei, Taiwan.





Arsitektur Hijau, Tantangan, Kepedulian dan Kekinian

Arsitektur Hijau, tantangan, kepedulian dan kekinian1


Budi Pradono2


Arsitektur Hijau dan Etika arsitek

Dalam beberapa tahun terakhir ini isu tentang green architecture / arsitektur hijau menjadi bahan pembicaraan di seminar-seminar baik di tingkat Internasional, nasional maupun regional mengingat keadaan lingkungan di bumi mulai tidak terlalu bersahabat dengan pemanasan global (global warming), lalu konsumsi energi yang meningkat tajam berkebalikan dengan produksi energy yang tidak terbaharukan menurun drastis, hal-hal tersebut menuntut kita sebagai arsitek untuk berpikir kritis dalam mengajukan proposal rancangan lingkungan binaan yang baru.

Profesi arsitek saat ini sedang mengalami tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan besar dalam metode merancang dan juga melakukan absorbsi teknologi yang cepat agar dapat menghasilkan rancangan yang kontemporer yang berorientasi pada Arsitektur Hijau (Green Architecture), yang lebih tanggap pada isu-isu lingkungan. Saat ini Best Practice selalu dikaitkan dengan etika arsitek dalam mengantisipasi pemanasan global, penghematan energy, dan pengelolaan lingkungan yang lebih bertanggungjawab.

Green dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa yang sangat baik). Popularitas Green building pun mendapatkan momentum yang memadai dari bertambahnya pengetahuan para arsitek dalam mengimplementasikan ide-ide brilian dalam mengajukan rancangan yang terintegrasi.


Ukuran Green

Seberapakah bangunan dapat dikatakan green sementara bangunan lain tidak? Di Negara – Negara maju sistem akreditasi kadar hijau pada bangunan sudah dilakukan dengan standard dan alat uji tertentu. Setiap bangunan dapat dilakukan survey dan kemudian diberi peringkat, bahkan beberapa Negara juga sudah menerapkan reduksi pajak bagi bangunan-bangunan yang dikategorikan green building. Di Amerika Serikat program menghijaukan bangunan sudah sangat baku dengan adanya program LEED (Leadership in Energy and Environmental Design), Green Building Rating System, sebuah program dari lembaga U.S. Green Building Council (USGBC). Program LEED mempermudah kita dalam mengukur tingkat berkelanjutan suatu proyek secara quantitative. Rating sistem ini di review dan diperbaiki kembali oleh USGBC setiap dua tahun sekali. Menurut catatan Cathleen McGuigan dalam majalah Newsweek, ada tidak kurang dari 16000 proyek pada tahun ini yang terdaftar untuk diakreditasikan dalam LEED hal ini melonjak tajam dari hanya sekitar 573 proyek di tahun 2000. Hal ini menunjukan betapa banyak pihak (Arsitek, Owner, developer, kontraktor) yang berkeinginan untuk menjadikan bangunannnya menjadi Hijau.


Antara estetika dan arsitektur yang berkelanjutan

Pertanyaan yang mendasar yang selalu menjadi pekerjaan rumah bagi arsitek adalah menghasilkan desain arsitektur hijau tapi sekaligus juga indah dan dengan budget yang memadai. Kenyataannya untuk menciptakan bangunan dengan standar agar bangunan sustainable sebenarnya tidak murah, hal ini disebabkan karena teknologi yang digunakan masih terhitung mahal. Inilah yang mengharuskan kita sebagai arsitek untuk dapat menggali lebih cermat lagi tentang kepandaian lokal dan juga material lokal yang dapat diolah sedemikan rupa untuk menghasilkan bangunan moderen. Dengan memenuhi standard kebutuhan masyarakat kontemporer. Renzo Piano arsitek Italy yang sudah berumur 71 tahun mengungkapkan :

“ Making green building is a practical answer, but architecture is about desire; it’s about dreams.”

Dalam artikel Newsweek tersebut sang penulispun menegaskan bahwa: sustainability is about the practical system of building, not the beauty of great design. Jadi kita perlu menegaskan kembali bahwa kaidah-kaidah arsitektur yang utama tentang keindahan dan fungsionalitas suatu lingkungan binaan dapat tercapai sekaligus memenuhi standard berkelanjutan sehingga bisa dikatakan hijau.

Beberaka indikasi Arsitektur Hijau

Berikut ini adalah beberapa daftar indikasi menjadikan bangunan Hijau: Jika dikaitkan dengan praktek arsitektur: renewable resources (sumber-sumber yang dapat diperbaharui, passive-active solar & photovoltaic; teknik yang mempergunakan tanaman untuk atap dan taman tadah hujan untuk mereduksi kekurangan air, menggunakan kerikil yang dipadatkan untuk area parkir dari pada aspalt dll. Green building material: material yang cepat pertumbuhannya seperti bambu dan kayu dari hutan yang terkendali, Mereduksi Penggunaan Energy: Low energy House dan Zero Energy building dengan memaksimalkan penutup bangunan (building envelope), penggunaan insulasi pada dinding, ceiling dan lantai memaksimalkan penggunaan energy matahari, terakhir dengan menggunakan energy yang terbaharukan seperti solar power, windpower, dan hydropower maupun biomass. Mereduksi limbah baik saat konstruksi pembangunan maupun pengolahan air kotor dan air limbah dengan system pengolahan moderen.

Beberapa contoh dan studi kasus

Dalam merespon arsitektur hijau. Tanggungjawab sebagai arsitek dalam merancang lingkungan binan yang baru (arsitektur) tidak saja harus terpaku pada standard – standard baku best practice seperti yang saya kemukakan di atas akan tetapi juga yang paling penting adalah pencarian keseimbangan baru dalam rancangan dan menentukan komposisi pengelolaan desain pada suatu tempat, suatu program yang pelik ataupun suatu tuntutan yang tidak mudah dijawab. Arsitektur hijau tidak dapat hanya dibaca sekedar hijau, sekedar memiliki bukaan yang baik, sekedar ada rumputnya saja tapi harus lebih dalam dari itu semua. Ketika seorang arsitek berpegang teguh pada masalah yang paling krusial di lingkungannya, kita harus mengambil keputusan-keputusan desain yang penting pula, menciptakan openspace baru, menciptakan alat pemberdayaan masyarakat dan juga alat penetrasi matahari yang paling sederhana, maupun menyelesaikan keseimbangan sosial dengan artikulasi arsitektur adalah hal tersulit yang selalu harus dilakukan oleh arsitek. Untuk itu dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan beberapa contoh dari proyek –proyek yang kita kerjakan di studio kami Budi Pradono Architects (BPA) dimana beberapa perbedaan prioritas dalam mendesain ataupun metode dan strategi dalam merancang berorientasi pada arsitektur hijau.

Studi kasus1: Bloomberg office interior fit out di Deutsche Bank building, Jakarta.

Sistem otomatisasi pencahayaan pada ruang kerja di Kantor Bloomberg ini dirancang agar sisi –sisi ruangan yang menghadap keluar bangunan dapat secara otomatis mereduksi penggunaan cahayanya. secara otomatis seluruh lampu penerangan pada ruangan-ruangan di sisi jendela menyala dan mati sejalan dengan kebutuhan, system otomasi ini dimungkinkan dengan teknologi dimmer yang mengacu pada sensor cahaya yang dipasang pada ruangan ini. Ini adalah salah satu contoh effisiensi Pencahayaan.


Studi Kasus 2: K-House di Bintaro Jakarta

Proyek Rumah mungil ini merupakan proyek yang cukup menarik, karena jumlah penghuninya terdiri dari 3 (tiga) orang dan 5 (lima) ekor anjing. Intensitas perancangannya adalah bagaimana memperbaiki rumah standard type 21 ini menjadi rumah yang nyaman bagi manusia dan anjingnya serta tetangganya, jadi definisi arsitektur hijau dapat diinterpretasikan dalam konteks sosial agar anjing-anjing sang pemilik rumah tidak mudah lepas, sehingga tetangganya merasa nyaman. Desain yang disetujui adalah desain renovasi yang mengangkat isu keamanan lingkungan dan kenyamanan pemilik rumah ini, dari pada harus membuat kandang satu persatu maka bukankah lebih murah jika seluruh rumah ini juga di kandang. Sehingga artikulasi kurungan ini menjadi hal yang spesifik menghancurkan konsep kandang anjing yang menyeramkan tapi menjadi arsitektur baru yang indah.




Studi Kasus 3: Ahmett Salina Studio, Jakarta Selatan

Arsitektur hijau dalam proyek ini mencakup beberapa hal; yang pertama setback dari garis sempadan yang seharusnya hanya 5 meter kita dorong lagi menjadi 8 meter sehingga ruang di depannya menjadi lebih luas dari tetangganya. Ini menjadi tempat yang dapat digunakan bersama. Jadi open space memberikan tempat bagi masyarakat sekitar untuk dapat menggunakannya. Yang kedua memanfaatkan dinding-dinding sekitarnya, baik dinding tetangga di kiri kanan maupun dinding hijau di belakang bangunan dimanfaatkan juga sebaik-baiknya. Yang ketiga memanfaatkan elemen bambu sebagai kulit kedua (secondary skin) agar dapat menetralisir panas matahari.




Studi Kasus 4: AA house di Cipinang, Jakarta Timur

Proyek AA house ini merupakan typikal rumah urban di Jakarta, dengan keterbatasan lahan, bangunan utamanya diangkat agar sisi bawahnya cukup luas untuk area parkir kemudian bangunan dibuat seperti island, sisi kiri kanannya digunakan sebagai sirkulasi. Dengan kebutuhan diagramatiknya yang banyak negosiasi programnya memberikan keleluasaan untuk saling overlap antar satu program dengan program yang lainnya. Ruang tamu dan mushola dapat dibuka dan mencairkan ruang menjadi lebih luas untuk kepentingan yang lebih banyak lagi. Di sisi pencahayaan matahari dimungkinkan untuk masuk dari segala sisi. Pada setiap jengkal tempat yang tersisa diciptakan roof garden yang hijau ingá pada lantai atapnya.


Studi Kasus 5: Rumah Kindah office, Jakarta Selatan

Kantor ini dirancang agar pada masa depan menjadi salah satu kantor paperless (tanpa kertas) di Jakarta, meskipun luas lahannya tidak terlalu luas sekitar 500 m2, namun kita mencoba memaksimalkan lahan tersebut, pada sisi depan / arah barat bangunan ini selain terletak jalan raya depok juga rel kereta api yang menghubungkan antara Jakarta Selatan dan Universitas Indonesia di wilayah yang lebih suburban sehingga kemacetan kendaraan dan kebisingan mobil dan kereta api berlangsung pada setiap pagi dan sore bersamaan dengan jam kerja kantor maupun kuliah.Untuk itu bangunan ini dirancang sangat spesifik mengantisipasi kebisingan ini, dengan metode origami / seni melipat kertas bangunan kantor ini dibuat introvert, dan lebih terbuka kea rah dalam seperti courtyard. Ruangan-ruangan dengan computer diantisipasi untuk dibuat tertutup sisanya dibuat terbuka ke arah dalam sehingga bangunan ini menerapkan efisiensi penggunaan cahaya, karena setiap siang hari hampir semuanya tidak memerlukan lampu, dan hanya area dengan komputer saja yang tertutup yang menggunakan AC. Dinding dari material beton yang tebal dengan insulasi di dalamnya sekaligus menjadi sound barrier dalam mengantisipasi kebisingan.











Study Kasus 6: Penerapan Arsitektur hijau melalui distribusi programming dan integrasinya dalam konteks lokal pada proyek monumen 100 tahun London Sumatra, Medan






Monumen 100 tahun London Sumatra, Medan, Sumber: dokumentasi Budi Pradono Architects

Dari hasil survey lokasi di kawasan perkebunan kelapa sawit di Sei Merah menunjukkan banyak sekali anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan yang memadai sehingga ide rancangan monumen ini diarahkan juga menjadi edukatorium bagi kawasan botanical garden. Transformasi program dan diagram menjadikan arsitektur menawarkan berbagai pengalaman ruang yang spesifik pada akhirnya bangunan ini tidak sekedar hanya sebagai tugu peringatan tetapi sebagai alat (device) bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Ruang publik yang didesain untuk mampu menampung berbagai kegiatan edukasi petualangan (adventure education), pendidikan lingkungan (environment education). Arsitektur hijau dalam proyek ini yang sesungguhnya ditunjukkan dari programnya yang tanggap pada situasi sosial masyarakat setempat, sehingga kebutuhan pendidikan pada masyarakat sekitarnya dapat ditampung dalam rancangan monumen experimental ini. Lipatan-lipatan yang kemudian muncul digabungkan dengan beberapa program yang disebarkan ke seluruh monument, kemudian menghasilkan ruang-ruang publik dengan kualitas yang bermacam-macam. Dengan perencanaan kawasan yang mengarah pada eco-planning, sekaligus bangunan monument dengan atap yang hampir seluruhnya diselimuti rumput (roof garden)

Dari tulisan di atas dapat dikatakan bahwa experimentasi arsitektur harus terus dilakukan secara bersamaan dengan konsep green architecture , sementara itu aspek sosial budaya di lingkungan setempat memiliki andil yang besar dalam menentukan type dan sistem material yang digunakan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi para arsitek, sekaligus kepedulian pada hal-hal yang remeh di sekitar kita. Lokalitas dari suatu tempat, baik kepandaian, material, cuaca dan keadaan lingkungan sosialnya harus menjadi aset yang spesifik dalam mengajukan desain yang baik.

Paris, Nov 3, 2008















Sunday, December 6, 2009

On Proccess: T House Gallery 2009-

T House Gallery ini dirancang dengan metode programming; setelah seluruh kebutuhan di masukkan ke dalam site bentuknya dibuat dari model, massa bangunan dipotong-potong hingga menghasilkan beberapa segmen sehingga kulit bangunannya memiliki sisi yang berbeda-beda, dari sini baru bisa ditentukan pada sisi mana yang harus porous, dan sisi mana yang tetap solid. kemudian juga ditentukan area mana yang lebih hijau.












Project name: T House Gallery
architect: Budi Pradono Architects
project architect: Budi Pradono
Project team: Budi Pradono with Novitry Ivy, Anton Suryono, and Daryanto
Location: Surabaya
Design year: 2009-


On progress: R House, Depok jakarta by budi pradono architects



R-House, merupakan rumah dengan tema yang multi layer: 1. tema pertama adalah membuka dialog dengan para tetangga dengan menyediakan verandah yang khas betawi. seluruh ornamen betawi yang ada pada railing tangga dan verandah ditransformasikan menyeluruh sebagai bukaan di atap yang memberikan citra baru berupa bayangan ke dalam ruang depan, dari atap yang diintervensi oleh ornamen baru.
2. tema kedua adalah tema 'petualangan' yang sangat kental di miliki oleh pemilik rumah; lewat prosesi ramp masuk ke dalam bangunan, melalului unsur air yang merebak ke dalam ruang utama maupun kamar tidur, kemudian diakhiri dengan kolam renang pada sisi belakang bangunan.
3. tema ketiga adalah arsitektur hijau / green architecture; semua limbah diolah dengan mini stp sehingga semua kotoran yang dikeluarkan dari bangunan ini memenuhi standard BOD yang di tetapkan oleh pemerintah. Mereduksi penggunaan AC, dengan bukaan yang memadai, mereduksi penggunaan lampu pada siang hari.
4. Tema ke empat adalah; Super Hijau: Mari menanam pohon di dalam rumah: di dalam rumah ini akan di tanam pohon tabe buya dengan bunga berwarna kuning yang akan berada di ruang keluarga dan ruang makan yang akan menembus atap. Pada atap kita akan tanam rumput: menjadikan rumah ini super hijau.
Sekarang sudah kira-kira sudah 75 % semoga selesai sesuai target bulan maret 2010 !





Wednesday, December 2, 2009

Metode Riset dalam Perancangan di BPA dan kaitannya dengan Internship program sebagai Jembatan Menuju Profesionalisme di bidang arsitektur

Metode riset dalam Perancangan di BPA[1] dan kaitannya dengan internship program sebagai jembatan menuju profesionalisme di bidang arsitektur.

Oleh Budi Pradono[2]

Diberikan pada Workshop Pembelajaran Studio Arsitektur Menuju Dunia Arsitektur Profesional. Jurusa Arsitektur – fakultas Teknik Universitas Pancasila, Jakarta.

Jakarta 30 November 2009

(Dalam Rangka PHK A2-Dikti)

Sistem Pengajaran berbasis studio

Sistem pengajaran berbasis studio pada dasarnya di pelopori oleh kardinal Mazarin pada tahun 1648 dengan sekolah seni Ecole des Beaux-Arts. Dimana disekolah tersebut menerapkan system belajar dengan meniru pada great master. Menurut Handinoto dan Samuel Hartono[3] mereka mengkategorisasikan model pendidikan arsitektur ke dalam tiga bagian yaitu: (1)Meniru dan mengkoreksi (immitation and correction), (2) sistem magang, dan model pendidikan di dalam atelier atau (3) sistem studio. Pada tahun 1919 Walter Gropius mendirikan pendidikan perancangan bernama Bauhaus di Weimar[4], Jerman di mana semua pelajaran hampir dilakukan di dalam bengkel / workshop kerja selama tiga tahun yang dibimbing oleh dua orang master; master of craft dan master of design. Karena sistem pembelajaran di dalam workshop merupakan metode mensejajarkan antara teori dan praktek. Pembekalan mahasiswa dengan bimbingan para master yan tidak hanya dari disiplin arsitektur antara lain; Paul Klee (pelukis), Kandinsky (pemahat & pematung), Oskar Schlemmer (desainer teater). Di Bauhaus selama masa studi 3 tahun belajar pada berbagai bengkel seperti bengkel kayu dan logam, kaca, tanah liat, fotografi, film dll. Bauhaus mengalami dinamika yang sangat menarik dan sempat dipimpin oleh Hannes Mayer dan terakhir oleh Ludwig Mies Van Der Rohe sebelum ditutup oleh Nazi pada tahun 1933. Semangat Ecole des Beaux Arts[5] maupun Bauhaus adalah menciptakan inovasi dalam dunia perancangan lewat pendidikan. Semangat tersebut sebenarnya sudah mulai dilaksanakan oleh beberapa univesitas di Indonesia contohnya UKDW di Yogyakarta dengan Eko Prawoto sebagai ujung tombak pengajar yang memasukkan program-program baru berupa workshop dengan para seniman di kelas. Lalu pembuatan instalasi di dalam ruang-ruang universitas oleh mahasiswa, terlebih lagi pada awal 90 an di UKDW diciptakan dua ruang studio yang besar dimana para mahasiswa bisa mengakses-nya selama 24 jam, bentuk studio ini memungkinkan terjadinya interaksi antar para mahasiswa arsitekur dari bebarapa angkatan sekaligus. Begitu juga di UNTAR, Jakarta dengan dimotori oleh dosen pengajar-nya, Iswanto G Hartono, yang sering membuat workshop bersama dengan praktisi maupun pembuatan maket skala 1:1, juga mengundang seniman untuk melakukan explorasi bersama dengan para mahasiswa. Menurut saya hal-hal ini telah membuka wawasan baru sekaligus membongkar sisitem perkuliahan satu arah yang rigid. Di mana beban perkuliahan yang tidak berkaitan langsung dengan dunia perancangan seperti MKDU terlalu banyak.

Pengalaman BPA sebagai institusi riset arsitektur.

Tulisan ini ingin membagikan pengalaman di studio kami; PT. Budi Pradono Architects (BPA) sebuah firma berbasis penelitian. Meskipun didirikan tahun 1999 namun mengalami pembaruan sistem, metode kerja setelah principal arsiteknya menempuh pendidikan tinggi di Berlage Institute[6], Rotterdam 2003. Selama di Berlage Institute, merupakan institusi yang baru pada saat itu dipimpin oleh dekan termuda Alejandro Zaera Polo dimana beliau memperkenalkan sistem studio bersama praktisi arsitek (master arsitek) dan master teori secara langsung sangat mempengaruhi arah dan perkembangan BPA hinga saat ini.

Karena sistem kerja di BPA berbasis riset, maka perusahaannya sebenarnya bisa dikatakan semi akademis. Yang ditekankan selalu fokus pada adanya inovasi yang konsisten baik dari sisi program ruang, penggunaan material, inovasi programming, dan yang utama adalah inovasi di dalam pemikiran arsitektur, hal ini bisa dicapai hanya dengan sebuah usaha keras membaca atau melakukan mapping fenomena –fenomena terkini dari kehidupan masyarakat, misalnya masalah urbanitas karena pertambahan penduduk dunia dan sekaligus dibarengi dengan gelombang globalisasi 3.0, menurut Friedman[7]; sehingga ini menyebabkan dunia ini semakin datar, artinya batas-batas geografis dalam jangkauan arsitek semakin hari semakin tipis, hal ini berarti seorang arsitek semakin hari semakin mudah mendapatkan proyek / pekerjaan di luar negaranya[8]. Hal lainnya yang cukup penting dalam prose’s merancang adalah melakukan studi komparasi dan preseden arsitektur dari berbagai tipologi bangunan yang sudah ada, agar dapat disarikan / dirumuskan kembali sebagai bagian usaha mendapatkan atau mengajukan proposal baru yang lebih inovativ. Oleh karena itu BPA mengunakan beberapa strategi yang menjadikan dunia akademik / kampus sebagai mitra untuk berinovasi. Untuk agar tetap selalu aktual BPA berusaha memiliki team yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa / daerah demi memberikan warna dan pertukaran budaya yang cepat. Kampus sebagai mitra: biasanya BPA membuat beberapa program workshop[9] dimana hasilnya dapat dijadikan referensi untuk menjadi stimulan bagi proyek yang akan didesain oleh BPA team.

Karena BPA hampir mirip sebagai team sepakbola internasional setiap personal memiliki keunggulan yang saling menguatkan, misalnya ada yang sangat mampu menggunakan software film, ada yang sangat mahir dalam membuat model / maket, ada yang sangat ahli membuat tiga dimensi dengan reno atau 3D max dst. Kemampuan tersebut merupakan basic skill / kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh calon arsitek pada masa kini. Metode riset sebenarnya diterapkan secara pragmatis karena keluarannya berupa opsi-opsi desain. misalnya new lifestyle atau perubahan gaya hidup. BPA mendapatkan sebuah proyek kecil renovasi kamarmandi di Bali untuk orang jepang, karena hasil riset menunjukkan bahwa hampir sebagian besar waktu orang Jepang dipergunakan untuk bekerja maka proposal desainnya adalah berupa bathroom is Living room. Jadi bath room yang dibuat selebar kamar dan senyaman living room karena mereka akan menikmati semua aktivitas nonton Tv, internet dan game dengan handpone di dalam kamar mandi. Inilah inovasi programming atau menggabungkan program aktivitas mandi dan program aktivitas bekerja dan leisure sekaligus. Beberap temuan di dalam riset ini selalu unik dan diterapkan di dalam proposal perancangan secara langsung. Contoh hasil riset lainnya adalah penggunaan kotoran babi untuk mendapatkan energi etanol pada bangunan tower di Mexico City. Hal hal di atas merupakan inovasi baru dalam berarsitektur. Memang tidak semua yang kita ajukan dapat diterima.

Program internship / magang di BPA

Program ini sebenarnya diciptakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang semi akademis. Karena orientasi dari BPA adalah firma arsitektur berbasis riset tentu saja hal ini menjadi penekanan yang hanya dapat diperoleh dari idealisme maupun semangat kerja penelitian seperti yang selalu ditekankan di dunia pendidikan. Pada intinya agar suasana di dalam kantor / studio BPA lebih multicultural dan semi akademik, selalu mendiskusikan hal-hal yang baru di dalam dunia arsitektur maupun bidang desain yang lainnya. Semangat ini hanya dapat dicapai jika komposisi antara para professional dan para peserta program internship merupakan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai kota/ daerah / Negara yang berbeda-beda sehingga dengan multibudaya dan perbedaan background pendidikan masing-masing orang akan dapat memberikan warna yang dinamik dalam proses penelitian dan merancang. Produk arsitektur yang baru saat ini sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi material, kemajuan teknologi informasi, dan batas-batas geografis yang semakin tipis.

Dengan kepercayaan bahwa produk arsitektur adalah bukan produk yang black box maka basis penelitian yang sangat mengandalakan internet sebagai alat menuntut keseriusan tim untuk mendefinisikan setiap permasalahan desain dengan rinci dan baik. Hasil dari rancangan akhirnya sebenarnya tidak terlepas dari spekulasi-spekulasi arsitektur.

Produk yang dihasilkan dari BPA sangatlah bervariasi mulai dari perancangan urban[10], penelitian fenomena urbanitas[11], instalasi arsitektur[12], maupun furniture Proyek pameran tahun 2009 ini yaitu Pameran Triennale architecture di Bulgaria, International Architecture Bienale Rottredam (IABR) dan Hongkong Senzhen bi City Bienale di Hongkong tersebut merupakan proyek nirlaba dimana BPA berperan sebagai alat untuk mendengungkan permasalahan urbanitas di sekitar kita dan hal ini menapatkan penghargaan karena perhatian kita pada berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita. Di dalam proyek pameran nirlaba tersebut peran praktikan dari universitas sangat diperlukan karena sifatnya yang sangat akademis.

Keunggulan dan kelemahan model Internship

Dalam proses merancang BPA berusaha konsisten pada beberapa tahapan di dalam proses merancang yaitu dimulai dari preliminary design (PD), Schematic Design (SD), design development (DD), construction document (CD), tender preparation(TP), dan site supervision(SS). Peserta magang diharapkan mengikuti semua proses merancang tersebut. Seperti diketahui dalam satu proyek nyata proses perancangan bisa berlangsung sangat panjang mulai dari 3 bulan hingga 3 tahun, sehingga hampir tidak mungkin bagi mahasiswa yang hanya mengikuti kerja praktek selama dua bulan mendapatkan seluruh proses tersebut sehingga kebijakan di BPA adalah hanya menerima mahasiswa Kerja Praktek (KP) selama minimal 6 bulan. Ternyata hal ini sangat bertolak belakang dari program kuliah para mahasiswa dari Indonesia. Karena di kampus hanya memberikan waktu 2 bulan. Sehingga mereka dituntut untuk mengambil cuti selama 6 bulan tersebut. Dari para pelamar ternyata program internship kita sangat sesuai dengan hampir semua program pendidikan di Inggris (UK) dimana setelah tiga tahun belajar di Kampus mereka diharuskan untuk mencari pengalaman dari kantor arsitek selama 1 tahun, dimana mereka bisa mengambil 6 bulan di kantor A dan 6 bulan berikutnya di kantor B atau satu tahun penuh di salah satu kantor arsitektur tersebut. Di BPA hampir 40% pendaftarnya adalah dari Inggris[13], karena keterbatasan fasilitas dan budget maka BPA hanya mampu menampung 4 orang peserta magang per enam bulan jadi pertahun maksimal 8 orang, yang terdiri dari 4 orang dari universitas-universitas di dalam negri dan 4 orang dari Luar Negeri. kelebihannya adalah BPA mendapatkan input-input yang sangat signifikan dalam proses penelitian. Di dalam struktur organisasi BPA di mana para mahasiswa magang berada di bawah asisten arsitek merupakan back up support yang bertanggungjawab dalam membuat record, atau membuat dokumentasi seluruh proses merancang tersebut. Di sisi lain pada beberapa proyek dalam skala besar (Urban)[14] mereka sudah diikutsertakan di dalam tim yang diberitugas untuk melakukan investigasi pada berbagai masalah urban yang dijadikan input dalam keputusan-keputusan desain.

Sistem seleksi dilakukan karena keterbatasan tempat dan perlunya diketahui kemampuan dasar dalam penggunaan program komputer maupun motivasi yang kuat dalam program ini. Setelah dilakukan ternyata hampir sebagian besar para pendaftar dari Universitas-universitas di Indonesia yang mengundurkan diri. Hal ini dikarenakan beberapa sebab salah satunya adalah motivasi mengikuti magang hanya sebatas mendapatkan data dan kemudian dibuat laporannya supaya mendapatkan nilai yang bagus. Hal ini berkebalikan dengan semua pelamar dari Luarnegeri yang semuanya bersedia menjalani test tertulis maupun wawancara. Kendala yang lainnya adalah beberapa mahasiswa dari Indonesia minim motivasi sehingga sering mmeminta ijin untuk tidak masuk kerja. Jadi pada dasarnya banyak mahasiswa yang belum menyadari bahwa program ini merupakan sebuah jembatan untuk menjadi profesional.

Perbedaan Pentahapan Perancangan di dunia professional dan akademik.

Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa pentahapan perancangan di dunia professional terbagi menjadi 5 tahap di mana setiap tahap memiliki karakteristik yang berbeda beda. Hal ini pernah dilakukan quesioner pada para peserta magang / internship yang merasa bahwa pentahapan seperti tersebut tidak didapatkan di dalam kelas di kampus. Pada proses awal BPA akan mengajukan Preliminary Design (PD) berupa presentasi hasil riset / penelitian dan investigasi dari brief, lokasi, budaya, dan aspek historis sehingga ada beberapa opsi atau inisial desain. Beberapa opsi itu jika pendekatan kita diterima oleh klien, kita baru bisa melanjutkan proses selanjutnya yaitu Schematic Design (SD) dimana perbaikan / re-fine-men rancangan dilakukan hingga denah maupun gambar basik potongannya disetujui. Setelah tahap ini kita baru bisa memasuki tahap Design Development(DD) pada tahap ini selain pembetulan rancangan denah maupun rancangan secara keseluruhan invesitigasi di lapangan juga bisa dimulai seperti soil test, maupun pengukuran topografi yang lebih detail dan spesifik, kemudian membuka dialog dengan konsultan ahli yang lain seperti ahli struktur, ahli Mechanikal Elektrikal dan Plumbing (MEP), Lighting designer, Landscape designer, dan spesialis yang lain jika diperlukan, seperti spesialis akustik, spesialis façade, specialist laser cut dan lain-lain. Di sisi arsitektur kita juga mulai melakukan studi material. Pada tahap ini banyak sekali yang harus dipelajari oleh para peserta internship karena mereka benar-benar harus belajar bahwa denah yang sebenarnya ternyata masih harus disesuaikan dengan perhitungan struktur maupun nalar MEP dan ini bisa berlarut larut jika tidak tercapai kata sepakat oleh karena itu kemampuan leadership seorang arsitek biasanya diuji di sini agar semua dapat berjalan lancar. Pada tahap Construction Document (CD) seluruh dokumen DD yang sudah disetujui harus dijabarkan ke dalam gambar detail / working drawing supaya bisa dilakukan perhitungan oleh quantity surveyor maupun dipergunakan untuk dokumen tender. Dalam tahap ini integrasi gambar arsitektur-struktur dan MEP menjadi kunci keberhasilan dari keseluuhan proyek oleh karena itu pada umumnya pada tahap ini peran Project manager (PM) menjadi sangat penting dan krusial dalam melakukan koordinasi antara berbagai disiplin. Pada tahap berikutnya adalah Tender Preparation (TP) dimana semua material semua gambar struktur MEP, lighting, interior, dan landscape siap untuk di lelang, arsitek harus bekerjasama dengan PM untuk menyiapkan keseluruhan dokumen untuk dijelaskan kepada peserta tender. Pada tahap akhir dari proses merancang ini adalah Site Supervision (SS), pada umumnya arsitek dituntut untuk secara reguler mengunjungi site dan menyelesaikan atau mengambil keputusan-keputusan enting yang ada di lapangan. Proses yang panjang di atas harus dipahami oleh peserta internship /magang dimana mereka harus mengikuti aspek –aspek pentahapan desain dari tahap awal berupa penelitian awal, investigasi, koordinasi dan supervisi di lapangan. Sementara proses perancangan di Kampus lebih simple karena pada umumnya studio perancangan arsitektur hanya bertemu dengan dosen pembimbing saja sementara di dunia professional harus bertemu dengan berbagai disiplin yang berbeda-beda. Perbedaan ini adalah hal yang wajar. Dan hampir tidak mungkin hal-hal yang professional ini diajarkan di kampus hanya dengan belajar / bekerja di firma rsitektur yang benar mahasiswa akan mengetahui proses ini, oleh karena itu model pendidikan yang ditawarkan oleh pendidikan di Inggris yang mewajibkan lulusan BArch untuk menempuh magang selama satu tahun maupun model pendidikan magang yang diwajibkan oleh International Union of Architects (UIA) menjadi sangat relevan.

Harapan dan Tuntutan Dunia profesinal pada Lulusan Universitas

Harapan kami pada semua jurusan arsitektur untuk tetap berdiri pada idealisme arsitektur pada saat yang sama menjaga dialog dengan dunia praktis dengan membuat beberapa program yang fariatif dengan mengikutsertakan para profesional baik sebagai penguji tamu, maupun pembekalan workshop-workshop yang terus menerus. Sementara itu bagi dunia profesioal sebaiknya juga memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk menyiapkan program magang / internship di kantornya sebagai media persiapan para mahasiswa untuk bersiap diri menjadi calon-calon arsitek muda untuk menjadi profesional.

Program magang di kantor / firma-firma arsitektur harus menjadi ajang dialog maupun jembatan antara dunia akademik dan dunia professional sebagai media untuk memasuki jenjang yang lebih tinggi. Di sisi lain bagi firma aristektur harus dapat memanfaatkan jembatan ini sebagai media untuk berinovasi, karena kadar pengetahuan yang baru pasti tetap menempel pada setiap mahasiswa.

Pada dasarnya menurut hemat kami Lulusan yang siap pakai itu tidak ada, karena tuntutan lulusan S1 sebenarnya yang dituntut adalah kemampuan untuk menganalisa pada setiap permasalahan sebelum mengambil keputusan, namun kemampuan dasar dalam merancang seperti penguasaan software penggambaran seperti CADD, 3D max, corel draw, photoshop serta kemampuan berbahasa asing adalah kemampuan dasar yang cukup kompetitif dimiliki oleh setiap lulusan, karena bahasa arsitektur adalah bahasa yang universal sehingga dengan basic skill yang dimiliki setiap lulusan dapat menembus batas-batas geografis dalam menemukan jati dirinya masing-masing. Selama proses dua tahun pertama para lulusan boleh menimbang-nimbang lagi untuk terus melanjutkan ke jenjang profesional atau tidak. Jika mereka kemudian memutuskan di jalur professional tentu saja harus segera mendaftarkan diri pada lembaga seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) di mana di sana para calon arsitek akan mendapatkan pendidikan ‘lanjutan’ untuk menjadi arsitek profesional yang ber-etika, berkonsep, dan bertanggungjawab. (Budi Pradono)


[1] BPA adalah kepanjangan dari Budi Pradono Architects institusi arsitektur berbasis riset, mendapatkan berbagai penghargaan internasional atas karya-karya yang innovative. Tahun 2009 memperoleh penghargaan Silver medal dari pemerintah Bulgaria atas karya terbarunya ‘Rumah Kindah Office’

[2] Budi Pradono adalah principal architect pada PT. Budi Pradono Architects (BPA) menempuh pendidikan arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana(1995) dan Berlage Institute Posgraduate lab of Architecture, Rotterdam (2003) menjadi pengajar tamu di berbagai universitas di Indonesia (UI, ITB, BINUS, UGM, Pancasila, Mercubuana, UNTAR)dan di Calgary University, Barcelona

[3] Handinoto dan Samuel Hartono staf pengajar Teknik sipil dan Perancangan Jur. Arsitektur Universitas Kristen Petra Surabaya, yang menulis tentang Pendidikan sistim studio dari Beaux-Arts ke Bauhaus sampai abad ke 21 di Indonesia.

[4] Baca lebih dalam lagi tentang baihaus pada http://en.wikipedia.org/wiki/Bauhaus

[5] Ecole des Beaux –Arts adalah sekolah seni sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Beaux-Arts_architecture

[6] Berlage Institute adalah model pendidikan tinggi, post graduate education yang dipelopori oleh arsitek Belanda Herman Hertzberger tahun 90-an. Pada tahun 2002, Alejandro Zaera Polo, Praktisi arsitek dari kantor FOA (Foreign Office Architects berbasis di London) di pilih sebagai dekan termuda di dunia, Alejandro mencoba memperkenalkan sistim studio ala Bauhaus dengan mengundang arsitek praktisi lainnya sebagai studio tutor dan juga mengundang para filsuf / pakar-pakar teori di bidang arsitektur untuk memimpin workshop antara lain dengan Manuel de Landa, Bernard Cache, dan praktisi urbanist antara lain Winy Maas (MVRDV) dan lain-lain.

[7] Thomas L. Friedman adalah pengarang buku The World Is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century dimana dijelaskan bahwa dengan globalisasi 3.0 telah memperpendek jarak antar Negara maupun me relatifkan batas-batas geografis suatu Negara karena keterhubungan yang disediakan oleh internet.

[8] Tahun 2007 BPA bersama studios architecture, LA memenangkan tender perancangan interior Bloomberg Office dimana tendernya dilakukan di New York. Tahun 2009 BPA sedang melaksanakan proyek perancangan Pure shi shi li, exhibition space di Taipei, Taiwan. Dan mengikuti tiga pameran internsional di, Belanda, Bulgaria, dan Hongkong. Serta mendapat undangan dari pemerintah Polandia untuk mengikuti kompetisi perancangan Urban di Gorzow Wielkipolski, Polandia. BPA juga mulai mendapatkan klien dari mancanegara antara lain Italia, Inggris dan Australia. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Thomas friedman bahwa batas geografis suatu Negara semakin datar menjadi kenyataan.

[9] BPA mengadakan beberapa workshop antara lain The Contemporary Library dan The new airport di BPA studio,Urban Transit di Univ Tarumanegara(2007), Funiscape di Univ Parahyangan (2007), Contemporary Tea House di Univ Bina Nusantara(2010)

[10] Dalam perancangan urban BPA berkolaborasi dengan arsitek / urban designer misalnya perancangan Punggol waterfront housing development di Singapura(2009) BPA berkolaborasi dengan Atena studio di Italia guna menghasilkan rancangan yang inofativ. Sementara perancangan urban pada kawasan historical Gorzow Wielkopolski BPA bekerjasama dengan U+D studio, sebuah firma urban designer dari Bandung.

[11] Fenomena Urbanitas, dengan penelitian tentang gated community di wilayah BSD serpong, dan Bintaro Jaya, BPA memenangkan kompetiti urban design Gotong Royong City 2009, di mana hasil investigasi urbanitas berupa fenomena pagar di sekitar BSD, oleh tim kurator dari IABR (International Architecture Bienale Rotterdam yang berlangsung mulai tanggal 25 September 2009 – 10 Februari 2010 di Netherland Architecture Institute(NAI), Belanda.

[12] Instalasi arsitektur merupakan bagian dari kritik arsitektural terhadap berbagai hal yang terjadi di dunia saat ini. Proposal BPA ‘Jungle Fever’ merupakan salah satu interpretasi dari tema Hongkong Senzhen Bi-city biennale dimana mereka mengangkat tema mobilitas. Jungle Fever merupakan interpretasi dari fenomena virus (flu burung, flu babi dst) yang menjadi momok bagi para pelancong seluruh dunia. BPA dalam hasil risetnya mencoba diinterpretasikan dalam ide desain baru berupa instalasi scanner raksasa. Saat ini proyek tersebut akan dipamerkan di Hongkong sejak tanggal 4 Desember – 28 Februari 2010.

[13] Para calon peserta internship di BPA terdiri dari lulusan beberapa universitas antara lain dari Nottingham Trent University, Kingston University, Lincoln University, Southbank University, Central Saint Martin, dll

[14] Dalam kompetisi urban desain keikutsertaan Budi Pradono Architects (BPA) dalam proposal perancangan Bicentenial Tower di Mexico city dengan anggota tim yang terdiri dari 4 orang asisten arsitek ditambah dengan 2 orang praktikan dari UNS dan ITB, serta dua orang lagi dari Sydney University. Diawali dengan investigasi umum dari proyek tersebut dan merumuskan beberapa kata kunci untuk dilakukan riset yang lebih dalam oleh tiap anggota tim, kemudian setiap minggu seluruhnya mempresentasikan hasil explorasinya di depan seluruh anggota tim lainnya.